Monday, October 30, 2006

Saat Hatiku Begitu Pilu

Monday, September 25th, 2006, 09.35 am.

Bismillahirrohmaanirrohiim. Subhanallah, betapa Allah selalu menunjukkan fenomena-fenomena dunia kepada kita sehingga kita bisa mengambil hikmah yang mendalam dari setiap hal yang kita temui dalam hidup ini. Sungguh… hari ini aku merasakan sesuatu yang amat berbeda. Entah apa. Tapi yang kurasakan adalah sedih, menegangkan, simpati, kasihan, pilu, pilu… sekali. Rasanya betapa Allah ingin menunjukkan hal yang spesial padaku pagi ini.

Izinkan aku sedikit bercerita tentang seorang pasien yang subhanallah, ia sangat sabar dan senantiasa bersemangat dalam melawan penyakit yang dideritanya. Pertemuanku dengan pasien ini dimulai sejak ± 2 bulan yang lalu. Ia dirawat di salah satu ruang perawatan di Rumah Sakit Daerah Pagar Alam tempatku bekerja. Pasien itu bernama F (inisial), perempuan, umurnya 31 tahun, masih lajang, dan jika dibandingkan dengan orang sehat yang sebaya dengannya, mungkin ia sudah memiliki keluarga sendiri, suami dan anak-anak. Tapi, ia hanya seorang makhluk yang sedang dalam kondisi yang sangat lemah sehingga tak ada satu pun yang dapat ia lakukan kecuali terbaring di tempat tidurnya.

Ia menderita Tumor di bagian pipi kanannya, tepatnya dalam bahasa medis, Tumor R. Maxilaris Dextra. Ia sudah menanggung beban itu sejak ± 9 tahun yang lalu… Saat pertama kali melihatnya aku merasa sangat simpati, pilu, sedih. Betapa tidak, kondisinya sangat mengiris hati. Ia terbaring lemah di tempat tidurnya. Tubuhnya kurus… sekali, daging yang menempel di tubuhnya sangatlah tipis. Betapa jika kita mau membandingkan diri kita dengannya, sungguh, nikmat yang Allah berikan itu sangatlah besar dan tak terhitung jumlahnya.
"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim : 34.)

Subhanallah, banyak sekali pelajaran dan hikmah yang kudapatkan dari pasien itu. Walau ia menderita penyakit mematikan, ia tetap bisa selalu menampakkan wajah cerianya. Walau ia lemah, ia tetap menunjukkan ketegarannya. Walau ia tahu penyakitnya parah, ia tetap bersemangat untuk sembuh. Subhanallah. Ia tak sedih, walau orang-orang yang membesuknya menampakkan rasa sedikit terganggu dengan bau busuk yang menyebar di ruang kamarnya. Ya, tumor itu telah sangat membesar, dagingnya sudah keluar, berbau, dan sering mengeluarkan darah segar sehingga harus diperban dengan perban yang khusus. Betapa Allah menjadikannya sebagai orang yang benar-benar terpilih untuk diuji seberat itu. Betapa pasien itu sabar dan tegar menghadapinya. Betapa Allah sayang padanya. Subhanallah.

Sejenak aku tercenung, ya Rabb … mungkin kalau dia sehat, dia pasti akan bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat. Ya Allah, apa yang dirasakannya ketika dia sadar bahwa ia telah menyita perhatian, waktu, dan tenaga banyak orang untuk merawat dirinya. Ya Allah, jangan buat dia merasa bersalah, tegarkan ia ya Rabb … Aku kembali merenung, jika dibandingkan denganku yang masih sehat, yang masih diberi kemampuan dan kesempatan untuk berbuat, betapa aku tidak pandai bersyukur. Sungguh, pasien itu memberikan banyak inspirasi bagiku. Keluarganya yang ramah, sabar, dan penuh perhatian. Keluarganya tak pernah meneteskan air mata di depan pasien itu. Pernah suatu kali ketika kami sedang mengganti perbannya, dan darah yang keluar sangat banyak, ibunya terlihat sedih, dan pergi meninggalkan ruangan. Ternyata setelah kuselidiki ia menangis di luar, sungguh ia tak mau membuat anaknya ikut bersedih dengan kesedihannya. Keluarganya selalu memotivasi, memberi semangat, memberi harapan.

Sudah banyak pengobatan demi pengobatan yang sudah ditempuhnya. Operasi, kemotherapy, dan sebagainya. Sudah banyak pula uang, tenaga, dan waktu yang terkuras untuk semua itu. Tapi, ia tak menyerah. Ia tetap berusaha walau ada beberapa dokter yang sudah angkat tangan. Suatu kali, ketika aku mengganti cairan infusnya, terlihat air matanya mengalir. Tapi, tak sedikit pun ada isak. Sungguh pilu rasanya. Saat itu aku tak mampu berkata-kata. Jika aku bertanya tentang hal ikhwal penyakitnya, aku takut sisi psikologisnya akan goyah. Karena aku tahu, aku masih terlalu lemah untuk memberinya semangat dengan kata-kata yang tepat dan di saat yang tepat.

Pernah suatu kali aku membantu para tim medis untuk mengganti perbannya. Saat itulah pertama kali aku melihat secara langsung tumor yang melekat di pipinya. Karena selama ini aku hanya melihat segunduk perban di pipi kanannya. Prosesi mengganti perban ini sangatlah spesial, karena melibatkan tim dokter dan perawat senior. Biasanya, kalau ganti perban biasa, hanya kami para perawat yang melakukannya. Tapi, karena prosesi ganti perban ini sangat berisiko, maka dokterlah yang turun tangan.

Ketika perban dibuka satu persatu, darah segar langsung mengalir deras. Masya Allah. Semua membantu, ada yang menekan supaya darahnya tidak mengalir deras, ada yang menyiapkan suntikan, ada yang membantu mengambilkan alat-alat, dan sebagainya. Semua siap siaga. Darahnya terus mengalir, dari atas, samping, bawah. Masya Allah ! Sang dokter terus mengompreskan cairan yang telah disiapkan untuk mengurangi perdarahan, obat suntik pun telah dimasukkan. Setelah ± 20 menit, darahnya berhenti mengalir. Alhamdulillah. Dan perban yang baru pun dipasang. Setelah prosesi ganti perban, ia langsung ditransfusi darah untuk mengembalikan darah yang banyak keluar.

Begitulah, cukup menegangkan karena kita semua tahu kalau seseorang kekurangan darah terlalu banyak, maka dia akan mengalami syok dan kehilangan kesadaran. Tapi, alhamdulillah hanya Allahlah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Setelah beberapa minggu dirawat di Rumah Sakit Daerah Pagar Alam (kotaku), ia pulang dan berencana untuk mengontrol penyakitnya ke Rumah Sakit Palembang dalam beberapa hari ke depan, karena di sana ada dokter spesialis tumor. Alhamdulillah.

***

Seminggu yang lalu, ia dirawat lagi di rumah sakit tempatku bekerja. Saat aku mengetahui bahwa ia dirawat lagi, aku langsung ke kamarnya, melihat kondisinya. Dan, Masya Allah, tumornya membesar ! Mata kanannya juga ikut tertarik dan membengkak. Hidungnya yang sebelah kanan juga ikut tertarik sehingga antara lubang hidung yang satu dengan yang lainnya tidak lagi simetris. Aku bertanya tentang keadaannya. Dia bilang, Hemoglobin (Hb) darahnya hanya 5 mg/dl. Kurang lebih percakapan kami seperti ini, "Gimana kabarnya hari ini ?", aku bertanya. "Ya, beginilah. Hb-nya cuma 5, tapi kok gak lemes-lemes amat ya ? Padahal waktu dulu yang Hb-ku 7, aku udah lemes banget…" Reflek aku langsung menjawab, "Hmm, berarti sekarang psiko-nya yang kuat, hehehe", serta merta ia juga tertawa kecil.

Sejak saat itu, pihak-pihak perawatan terus melakukan transfusi darah terhadapnya, karena dia butuh 5 kantong darah atau lebih supaya Hemoglobin darahnya kembali normal (Hb darah normal untuk perempuan : 12 gr/dl). Subhanallah, bantuan donor darah dari teman-teman bagitu lancar sehingga di dalam proses transfusi darah ini tidak ada kendala. Tiga hari setelah ganti perban yang pertama, aku bertanya padanya, "Hari ini ganti perban, kan ?", tapi ibunya langsung menjawab, "Katanya besok atau lusa saja, dia belum siap, sus." Seharusnya memang ganti perban ini dilakukan 3 hari sekali, tapi karena kondisinya masih lemah, dan prosesi ganti perban itu sangat rentan akan perdarahan, maka hal itu ditunda sementara. Sebenarnya aku sedikit kecewa saat itu, karena kupikir kalo ganti perbannya hari ini, aku bisa ikut membantu dan melihat kondisinya saat ganti perban, karena besok aku tidak dinas, libur. Tapi, ya mungkin memang belum saatnya. Mudah-mudahan prosesi ganti perban selanjutnya berjalan dengan lancar. Amin.

***

Saat aku kembali masuk kerja, aku bertanya pada seorang rekan kerja yang ikut membantu prosesi ganti perban pasien itu. Dia bilang, "Syukurlah, gak ada masalah, perdarahannya tidak banyak." Alhamdulillah. Aku membatin.

***

Tetapi, pagi ini, tanpa diduga, dan tanpa persiapan, pasienku itu mengalami perdarahan yang cukup hebat. Aku sangat terkejut saat keluarganya melapor dengan wajah yang sangat panik, "Sus, pasien F banyak mengeluarkan darah… " Masya Allah ! Aku langsung mengambil peralatan dan menuju ke kamarnya. Kulihat ia sedang menutupi pipinya dengan kain, tapi tetap saja darah itu mengalir dari samping matanya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Darahnya terlalu deras hingga menembus perban, aku dan seorang rekan kerjaku langsung melapisinya dengan kain perban yang baru dan menekannya supaya darahnya dapat tertahan. Tapi, ternyata darah yang mengalir semakin lama semakin banyak dan tak terkontrol. Aku menyuruh rekanku untuk memanggil dokter. Masya Allah, betapa pun banyaknya kain perban yang kugunakan untuk menutupi darah yang mengalir, tetap saja darahnya selalu menembus. Aku sedikit panik, khawatir, tapi tetap berusaha tenang. Temanku yang lain datang, ia bilang dokternya belum datang karena baru pulang jaga malam, sedangkan dokter yang satunya sedang dicari, mungkin sedang memeriksa pasien yang lain. Dokter di rumah sakit tempat aku bekerja memang masih minim. Sebenarnya, rumah sakit kami dulu adalah puskesmas rawat inap, sehingga masih sulit untuk menyetarakan diri dengan rumah sakit umum di kota-kota lainnya karena masih minim dari segi SDM, sarana dan pra sarana, serta manajemen yang belum baik. Tapi, insya Allah tahun 2008 rumah sakit yang baru akan selesai (sekarang sedang dibangun), dan rumah sakit baru yang akan kami tempati dua tahun lagi itu adalah rumah sakit yang bertipe C.

Beberapa menit waktu berlalu, akhirnya sang dokter pun datang, dan perawat-perawat yang lain ikut membantu. Dokter memerintahkan untuk memasang infus jalur kedua di tangan yang sebelahnya (takut kalau ia kekurangan cairan karena terlalu banyaknya darah yang keluar). Sang pasien semakin lemas. Tetesan cairan infusnya dipercepat. Dokter yang satunya datang, ia pun langsung membantu sebisanya. Semua usaha dikerahkan untuk menghentikan perdarahan itu. Tapi, darahnya tetap mengalir, deras… sekali. Keluarga pasien itu hanya terdiam, terpaku, dan terlihat bingung. Sang pasien mulai gelisah dan mengeluh kedinginan. 'Ya Allah …, tolong dia'. Aku berdoa dalam hati. Sang dokter mulai terlihat lelah, berkeringat, sedang pasien itu, pucat … sekali, lemah, tak berdaya. Dan pada akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, perdarahannya berhenti. Alhamdulillah.
Kurang lebih satu jam perdarahan itu berlangsung, dan ± 1 liter darah yang telah keluar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh pasienku itu saat ini. Semua terlihat lega. Setidaknya, perdarahannya sudah berhenti. Tapi, kami masih khawatir dengan kondisi sang pasien. Transfusi darah pun segera dilakukan. Tapi, ia terus mengeluh kedinginan. Dan memang benar, saat kurasakan tangannya, dingin … sekali. Seperti tanda-tanda orang mau meninggal. 'Ya Allah, bantu dia, beri dia kekuatan ya Rabb…' Aku terus berdoa dan berharap. Kami pun melakukan cara manual untuk menghangatkan tubuhnya dengan menggunakan buli-buli panas. Tapi, lama-kelamaan kesadarannya mulai menurun, matanya terpejam, dan tak berkata lagi. Segera kuperiksa tekanan darahnya, dan aku langsung lemas, tekanan darahnya hanya 70/30 mmhg. Badannya dingin … sekali. Sesaat aku sadar, ia mengalami pre syok ! Ingin… sekali rasanya aku melakukan hal apa saja yang membuatnya tertolong, tapi aku hanya bisa berusaha sebisaku, sesuai dengan kapasitasku. Ya Rabb, berikan pertolonganMu…

Untuk Sementara pasienku itu tenang, tapi masih dalam kondisi labil. Aku pulang, karena memang sudah waktunya pulang, para rekan perawat lain yang jaga pagi sudah meng-handle laporan yang kami berikan. Pfuihh, ternyata lelah juga. Karena dari sore kemarin sampai pagi ini aku jaga. Aku memang dapat giliran jaga malam. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memilihku untuk mengalami kejadian yang penuh inspirasi ini. Semoga pasienku itu mendapat curahan kasih sayangNya. Amin.

***

AT HOME

Saat ini aku tak tahu bagaimana kondisi pasienku itu. Aku hanya bisa berdoa, ' Ya Rabb, berilah ia kekuatan untuk tetap hidup. Namun, jika memang Engkau menghendakinya untuk berjumpa denganMu, mudahkanlah jalannya. Ampuni dosanya, masukkanlah ia ke dalam surgaMu. Tabahkanlah keluarganya. Bukakan hati orang-orang di sekitarnya untuk dapat mengambil hikmah di bulan suci ini. '

Betapa aku banyak menemukan inspirasi dari hal itu. Saatnya mensyukuri nikmat Allah, dengan memanfaatkan waktu untuk beribadah, beramal, menuntut ilmu, mengembangkan potensi, membantu orang lain yang membutuhkan, menunaikan kewajiban dan amanah-amanah yang telah diberikan Allah kepada kita. Betapa sungguh berharga nikmat sehat dan waktu luang. Ramadhan ini adalah momen yang tepat bagi kita untuk senantiasa memanfaatkan waktu sebaik mungkin, mengisinya dengan amalan-amalan sholih sehingga pada akhirnya kita menjadi orang yang bermanfaat, menjadi muslim yang pandai bersyukur. Insya Allah.

***

Apa yang ada …Jarang disyukuri
Apa yang tiada … sering dirisaukan
Nikmat yang dikecap, baru kan terasa
Bila hilang …
(Bait-bait nasyid itu bersenandung di hatiku)

NB : Saya sedang merasa sangat pilu. Moga pasien saya diberi yang terbaik oleh Allah. Mohon do'a teman-teman. Jazakallah khairan katsir.








2 comments:

Anonymous said...

Eh mbak SATPAM RS.BESEMAH itu kayaknya bnyak yg blagu dech,trutama soal peraturan...From: Tanjung Sakti Pumu kab.Lahat Gunung Raya town. Xixie

cici silent said...

@Patra : Oh, maaf... sayang skali sy ga bs menyampaikan saran itu, sy sdh lama resign dari RSD Besemah.