Monday, November 23, 2009

"Bait Kelana Jiwaku" Pindah

Teman, sebelumnya saya benar-benar mohon maaf... Dengan mempertimbangkan banyak hal... dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf karena kelanjutan dari "Bait Kelana Jiwaku" saya pindahkan ke sini. Harap dimaklumi, terima kasih.



Sunday, November 01, 2009

Bait Kelana Jiwaku (Bag. 1)

Teman, sebelum membaca tulisanku ini, ada baiknya kujelaskan sedikit. Sebenarnya, aku sungkan menceritakan kisah dan petualanganku, karena begitu banyak hal, peristiwa dan perjalanan yang bersifat pribadi. Tapi, karena *paksaan* dan motivasi dari teman-teman, insya Allah aku akan membaginya dengan kalian sebagai bahan sharing dan inspirasi. Tentunya, aku tidak bisa menceritakan semuanya secara detail karena ada hal-hal yang tak bisa kuceritakan di sini. At least, tulisan bersambung ini akan bisa menjadi ekspresi jiwaku yang sedang berkelana. Dan semoga, teman-teman sekalian dapat mengambil hikmah dan manfaat dari ceritaku, amiin. ;)

By the way, karena tulisan ini bersambung, mohon maaf dan harap bersabar ya... jika nanti kalian agak lama menunggu kelanjutannya. Maklum, saya menulis sesuai mood dan kehendak hati :D Selamat membaca ^_^

***


JAUH... DAN SEMAKIN JAUH

Pagar Alam, October 1st, 2009.

07.30 AM
Pagi ini aku pucat, sedih, pilu. Rasanya tidak mungkin aku akan meninggalkan Pagar Alam, sebuah tempat yang sangat kucintai, juga selalu kukagumi. Pagar Alam, tempat kelahiranku, tempat di mana aku dibesarkan, tempat di mana aku pernah merasakan pahit manisnya hidup, merasakan indahnya ukhuwah, merasakan semangat berorganisasi, merasakan indahnya hentakan irama hidupku, merasakan semuanya... Sungguh, ini adalah sebuah kenyataan yang pahit bagiku, karena sama sekali tak pernah terpikir olehku untuk pergi merantau ke pulau seberang, mencari diri... menemukan potongan-potongan mozaik hidupku yang mungkin telah tertambat di sana.

Dulu pernah tercetus dalam hatiku, "Ah, kenapa sih orang-orang pada suka merantau? Memangnya di kampung sendiri ga ada lahan rizki apa?" Tapi, sekarang aku seperti menjilat ludah sendiri, nyatanya aku pun merantau... Aku selalu berpikir, bahwa Pagar Alam adalah sebuah tempat yang begitu nyaman untuk ditinggali. Pagar Alam adalah sebuah kota kecil yang menakjubkan... Aku tidak melebih-lebihkan Pagar Alam karena ia adalah kota kelahiranku, bukan. Tapi, karena memang begitulah adanya. Pagar Alam adalah sebuah kota kecil yang terletak di bagian Selatan pulau Sumatera, berbatasan dengan Kab. Manna' Bengkulu Selatan, dengan atmosfer yang sangat bersahabat belum terjamah polutan, masyarakat pedesaan yang rata-rata mata pencahariannya petani dan pekebun, perkampungan penduduk yang dikelilingi bukit indah berlapis-lapis, Gunung Dempo yang tinggi indah menjulang dengan perkebunan tehnya yang menghampar seluas mata memandang, Sungai Lematang Indah yang sejuk dan jernih, puluhan air terjun yang menawarkan pesona keindahannya, udara yang bersih sejuk penuh oksigen, and so on...Ah, begitu menakjubkan...

Aku begitu gamang, bukan hanya karena akan meninggalkan Kota Pagar Alam. Tetapi, juga meninggalkan bisnis yang selama ini telah kurintis, kuliah dan organisasi kampus, amanah-amanah yang sebenarnya masih membutuhkan diriku, sahabat-sahabatku, keluargaku, orangtuaku, cita-citaku, semuanya...

Belum juga kaki ini melangkah ke luar rumah, rasa rindu itu telah mulai membuncah. Batinku menggumam, 'Ya Rabb... bantulah hamba mengatasi rasa rindu yang nantinya akan mendera diri ini'.

08.30 AM
Aku bersiap-siap. Ku coba menyingkirkan rasa-rasa yang membuat hatiku pedih. Ku coba menegakkan kepala, mengukir senyum, meneguhkan langkah. Setengah jam lagi adalah jadwal keberangkatanku, aku berharap... semoga semua yang kutinggalkan akan ikhlas menerima kepergianku ini.



09.00 AM
Petugas mulai mengecek barang-barang bawaan penumpang. Para penumpang dan keluarga yang mengantar saling berucap kata-kata perpisahan, tak lupa mengungkap kata-kata penyemangat dan doa. Sahabat yang mengantarku, ku lihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku hanya terdiam, tersenyum dan membatin, 'Jangan kawan... jangan kau menangis di sini, nanti akan tumpah pula air mataku...' Ia menatapku lama dan dalam. Aku tahu ia sadar... bahwa aku pergi bukan untuk sebulan dua bulan. Aku pergi bukan pula untuk jalan-jalan, tapi menghadapi perjalanan dan petualangan yang penuh tantangan dan marahabahaya. Karena aku pergi sendirian, tak ada teman atau pun kerabat, hanya Allah SWT yang menemaniku. Walau gamang hatiku, aku yakin... Allah akan senantiasa melindungi dan menjaga hamba-hambaNya.

Perpisahan memang selalu menyisakan duka, walau hanya sementara, bukan berarti takkan bertemu lagi. Kami berpamitan, walau berat mengucap kata perpisahan. Lalu, ia menyodorkan sebuah amplop padaku. Aku sempat mengelak, namun aku tahu... dia pasti memaksaku untuk menerimanya, selain itu aku juga menyadari bahwa aku memang akan membutuhkannya di rantau nanti. Kuucapkan terima kasih, lalu kami berpelukan. Ia pun langsung pamit, karena ada urusan penting yang harus diselesaikan.

Beberapa saat kemudian, barang-barang penumpang mulai dinaikkan satu persatu ke bagasi bis, Bis Sinar Dempo yang akan menjadi rumahku di perjalanan selama dua hari dua malam menuju kota Yogyakarta. Para penumpang semakin memadati tempat parkir bis yang akan ditumpangi. Lalu penumpang mulai diabsen satu persatu sesuai dengan nomor kursi yang telah dipesan. Dan tibalah giliranku, sambil melangkah aku meneguh-neguhkan hati sambil menghela napas panjang, 'Ya Allah... kuatkan aku.'

Mentari pagi mulai meninggi, menghangatkan seluruh sudut kota Pagar Alam. Di tengah hiruk pikuk penumpang yang tengah sibuk mempersiapkan diri sebelum bis melaju, aku dilanda suatu sensasi yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Aku dilanda sindrom seolah waktu berjalan begitu lambat. Sang supir mulai bersiap-siap, mesin bis mulai dinyalakan, dan aku begitu gamang... Pagar Alam akan segera kutinggalkan. Di luar bis ku lihat, para pengantar sedang berlambaian tangan sambil tersenyum kepada para kerabat dan keluarga mereka. Sekilas ada rasa sedih menyeruak... tapi lekas-lekas ku tepis, 'Tidak! Aku harus kuat! Allah will be by your side!' tegasku kepada diri sendiri.

Lalu bis pun mulai melaju, aku mengucap rangkaian do'a dan dzikir. Setiap tarikan nafas yang ku hirup terasa begitu berat, aku hanya bisa menikmati saat-saat terakhir melewati jalanan ini. Entah kapan aku akan kembali lagi ke sini. Semakin besar jarak memisahkanku dengan Pagar Alam, hatiku hampa. Aku hanya berusaha menikmati saat-saat terakhir hirupan udara segar Pagar Alam. Menatapi lekat-lekat pemandangan sawah hijau membentang yang kulewati, air terjun itu, bukit-bukit nan biru itu, jurang-jurang dan kelokan jalan yang indah itu, membuat hatiku semakin hampa. Sekonyong-konyong, tak terasa bumi Pagar Alam mulai hilang dari pandanganku, jauh... dan semakin jauh.

to be continued...