Wednesday, December 23, 2009

Lelah

Telah jauh jarak ku tempuh
Beribu liku t'lah terlewati
Berjuta tangis t'lah kuselami
Berjuta tawa t'lah terlupa
Harap pun, t'lah layu terhempas

Duhai,
Masih begitu redupkah uraian tanya
Menggelayut di relung jiwa

Wahai,
Masih begitu samarkah elegi makna
Bergolak di setiap sudut kata


Ini jiwa, ini rasa
Tak lagi punya daya
Ini kalbu, ini rindu
Tak lagi syahdu

Diam itu kini t'lah lelah
Mengungkap bait kelana jiwa
Sepi itu kini t'lah pasrah
Menanti cahaya di pelupuk senja

Saturday, December 19, 2009

Review Sang Pemimpi The Movie ; Maaf dan Terima Kasih buat Bung Riri!

Sang Pemimpi, buku kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi yang cukup mempengaruhi hidup saya. Begitu menginspirasi, menggugah, dan penuh semangat hidup. Walau tak terhitung telah berapa kali saya mengkhatamkannya, namun tetap saja menyisakan kesan yang sama; 'kaya', menyentuh, manis tak terperi. Semua kesan itu, tentu karena Sang Pemimpi bukan hanya sekadar karya fiksi, tapi sebuah cerita yang dilatarbelakangi oleh kisah hidup penulisnya sendiri, Andrea Hirata. Dan... karya-karya 'based on true story' adalah semacam katalisator perjalanan hidup saya, I love it!

Menyusul Laskar Pelangi yang telah sukses menyedot jutaan penonton, Sang Pemimpi ikut diadaptasi ke dalam sebuah film. Hmm... ini tentunya membuat penasaran para penggemar Tetralogi Laskar Pelangi, termasuk saya.

Mengikuti perkembangan proses pembuatan film ini (dari proses casting para pemain, proses syuting itu sendiri, dan pada akhirnya menyaksikan trailernya) membuat saya semakin penasaran. Seperti apakah film Sang Pemimpi? Sebuah tanda tanya besar itu menelorkan banyak tanda tanya lain di benak saya, seperti "Bagaimanakah wujud karakter unik si Arai? Bagaimanakah kegeraman Pak Mustar yang diwujudkan dalam film ini? Bagaimana pula kelakuan Jimbron yang tambun - invalid tapi kocak itu? Bagaimanakah acting Ariel Peterpan sebagai Arai dewasa? Sanggupkah ia memerankan tokoh yang cukup berpengaruh itu dengan baik? Lalu, bagaimanakah pula acting Nugie sebagai Pak Balia? Kemudian, kenapa saat wisuda (di Trailer), Ikal dan Arai satu kampus? Berubahkah jalan ceritanya? Bagaimanakah endingnya?



Dan semua pertanyaan itu kini terjawab sudah. Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk menonton Premier Sang Pemimpi yang telah ditunggu-tunggu ini.Berawal dari ajakan seorang teman, akhirnya saya bersama ke-8 teman sesama plurker ini (Dhodie, Achie, Ai, Gege, Nopih Gosip, Kartini Samon, Iman, dan Ramadoni) nonton bareng di Pejaten Village.


Walau saya belum tahu di mana rimbanya Pejaten Village itu, *maklum saya baru di Jakarta temans*, tak menyurutkan tekad saya untuk menonton Premier Sang Pemimpi! Saya jadi ingat, dulu sewaktu saya masih di Pagar Alam, karena tak ada bioskop, saya nekat pergi ke Palembang yang jaraknya 6 jam perjalanan naik bis, hanya untuk menonton Premier Laskar Pelangi :D


Alhamdulillah, perjalanan saya dari kos menuju Pejaten Village, aman dan lancar. Belajar dari pengalaman 'nyasar' saya tempo hari, selain saya bilang ke kondektur kemana tujuan saya, saya jadi merasa 'bebal' karena saya berkali-kali bertanya pada mas-mas yang duduk di dekat saya, "Pejaten Village dah lewat belum, Mas?" Tak lama kemudian, "Pejaten Village masih lama ya, Mas?" Lalu, "Masih jauh ya, Mas Pejaten Village?" Hihihi, sampe kesel kali tuh mas-mas saya tanyain mulu :D


Lalu, ada Mbak-mbak yang mau turun bilang ke saya, "Mbak mau ke Pejaten ya? Ituh tuh Mbak, stop aja deket lampu merah", ia berujar sambil menunjuk ke arah depan. Saya mengangguk, tersenyum-senyum, dan berterima kasih. Haha... mungkin dari tadi Mbak itu memperhatikan saya yang was-was mengantisipasi dimana... letaknya Pejaten Village :D


Akhirnya, sampai juga saya di Pejaten Village. Bertemu Achie, Gege, Ai, dan Ramadoni di 21. Di detik-detik kritis saat film akan dimulai, barulah sang leader muncul, Dhodie, beserta teman-teman yang lain; Nopih Gosip, Kartini Samon, dan Iman.


Then, kami masuk dan mengambil seat sekenanya. Lalu menyamankan diri untuk menikmati Sang Pemimpi. Oke, saya rasa cerita basa-basinya cukup temans :D So let's start my review :


  1. Saya merasa agak terganggu dengan ketidaksesuaian waktu antara film dan novel, saat adegan kenakalan Ikal, Arai, dan Jimbron dikejar-kejar Pak Mustar. Di film tertulis, "Magai, 1985", padahal di novel tepatnya pada halaman 4 jelas tertulis, "...Aku mengintip ke luar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai..." Mungkin bagi kebanyakan orang, ini biasa saja. Tapi bagi saya hal kecil seperti itu cukup mengganggu. Maaf ya, Bung Riri... *apa saya yang salah ya?* (unsure)
  2. Saat dikejar-kejar Pak Mustar, tak seseru yang ada di novel. Ikal dengan bajunya tak berkancing, berkibar seperti jubah Zorro, lalu serasa mendapat perhatian dari siswi-siswi *gadis melayu*, sama sekali tak tergambarkan. Maaf...
  3. Saat belajar sastra bersama Pak Balia, kata-kata semangat yang dilontarkan olehnya cukup menggetarkan hati saya. "Tak penting seberapa besar mimpi kalian! Tapi yang paling penting adalah seberapa besar kalian, untuk mimpi itu!" It's wow... ! Lalu, kata-kata "...bebaskan diri kalian! Ambil risiko paling tinggi! Itu akan membuat kalian kaya!" Wah... acting yang cukup bagus dimainkan oleh Nugie. Pun penghayatannya saat memperhatikan perubahan semangat yang terjadi pada Ikal, dan tentunya saat berperan sebagai guru sastra itu sendiri, "Pekikkan kata-kata yang memberi kalian inspirasi!" Wuih... mantap! Terima kasih Bung Riri...
  4. Lagu dan musikalitas yang tidak se'kaya' Laskar Pelangi. Musikalitas dalam sebuah film cukup penting menurut saya, warna-warni musik di film Laskar Pelangi semacam lagu Laskar Pelangi - Nidji, Bunga Seroja - Veris Yamarno, Tak Perlu Keliling Dunia - Gita Gutawa, Sahabat Kecil - Ipank, tak saya temui di Sang Pemimpi. Hanya lagu Gigi yang menurut saya, *maaf*, kurang menyalurkan spirit sosok Sang Pemimpi itu sendiri. Entah kenapa, apakah karena kurang penjiwaan? Entahlah... Tapi yang pasti, lagu Laskar Pelangi, saya tahu Giring Nidji dkk menciptakan lagu itu karena panggilan jiwa setelah membaca Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi (Kick Andy edisi Laskar Pelangi The Movie), tentunya apa yang diungkapkan dari hati akan sampai pula ke hati. Kemudian, Lagu "Cinta Gila" ciptaan Andrea Hirata yang dibawakan Ungu, tak terasa oleh saya, "Eh, lagu Cinta Gila yang mana ya? Kok saya ga dapet feelnya?" Entahlah... Lalu, koreksi saya, ada salah satu backsound di film Laskar Pelangi, dipakai juga di Sang Pemimpi. Sebenarnya sah-sah saja, tapi... apakah tidak lebih baik menciptakan backsound yang baru? Yang tentunya akan menantang kreativitas! Untuk sebuah adaptasi novel ke film, sekaliber novel Sang Pemimpi, ah... sungguh sangat disayangkan jika memakai backsound lama dan terkesan setengah-setengah. Maaf...
  5. Suntikan semangat berapi-api yang ditunjukkan Arai saat Ikal terpuruk, nyaris tak ada! Apalagi di saat-saat Ikal mengejar ayahnya, tak ada pekikan kata-kata sentilan pendobrak kesadaran dari Arai seperti yang ada di novel, yang ada hanya tatapan Ikal pada ayahnya dari kejauhan. Ah... terasa hampa. Maaf...
  6. Bang Zaitun, entah kenapa, menurut saya kurang 'greget'!!! Bang Zaitun, sang flamboyan musik yang nyentrik itu kurang terwakili oleh Jay. Tak ada dua gigi emas putih itu! Dan cengiran khas 'hihihi' seperti dalam novel, tak tervisualisasi dengan baik menurut saya. Maaf...
  7. Adegan yang mewakili chapter "Bioskop", jujur... saya kurang suka. Menurut saya, sebenarnya Bung Riri Riza bisa mengemasnya dengan lebih apik lagi dan lebih meninggalkan kesan pelajaran moral pada penonton. Bukan benar-benar menjiplak adegan tak senonoh dalam cerita novel. Dan... tak ada hukuman acting di hadapan para siswa-siswi, yang ada hanya hukuman membersihkan WC yang super jorok itu. Dan yang membuat saya heran, setelah itu... saat Ikal marah pada 'kebebalan' Jimbron akan cerita kudanya, sekonyong-konyong Ikal langsung marah pula pada Arai dan langsung mengutarakan kepesimisannya akan mimpi-mimpi mereka sekolah ke Prancis. Benar-benar tidak nyambung menurut saya. Maaf...
  8. Ada satu lagi ketidaksesuaian yang saya temukan, yakni pada saat pembagian rapor, sewaktu Ikal terpelanting jauh ke peringkat 75. Saya terkejut! Saat Pak Mustar memanggil nama "Ahmad Haikal!", dan majulah Mathias Muchus (pemeran ayah Ikal) untuk mengambil rapor itu. Dalam hati saya protes, 'Ga salah nih Pak Sutradara? Ahmad Haikal? Bukannya Andrea Hirata? hehehe. Maaf...
  9. Tak ada adegan saat Ikal dan Arai pulang kampung, bertemu dengan Jimbron Dewasa yang telah menikah dengan Laksmi dan memiliki anak. Menurut saya, jika adegan ini ada sepertinya akan lebih manis... ^_^ Maaf...
  10. Saat memikat hati Zakiah Nurmala, entah kenapa kurang terasa gigihnya perjuangan Arai. Dan kesan 'indifferent' seorang Zakiah Nurmala kurang 'greget'! Maaf...
  11. Acting Ariel Peterpan (Nazril Irham) sebagai Arai Dewasa sungguh tidak memiliki 'jiwa' seorang Arai... Ah, ini bagian yang sungguh menyedihkan bagi saya. Entah kenapa Bung Riri memilih Ariel sebagai Arai dewasa. Padahal, di sekuel selanjutnya (Edensor) peran Arai ini akan lebih dieksplorasi... Saya ragu, apakah Ariel bisa? Tapi ini tantangan buat Bung Riri dkk! Maaf...
  12. Saya begitu terharu dengan adegan saat Ikal memeluk ayahnya, bersalaman, meminta maaf dan berkata dengan penuh penyesalan mendalam, "Maafkan..." diiringi dengan musik instrument yang... subhanallah...... I love it! I love it! Sukses menitikkan air mata saya. Sampai saat ini pun, saya masih ingin...sekali mendengarkan instrument itu, lagi, lagi, dan lagi! Harap maklum, saya penggila instrument temans ^_^ Terima kasih Bung Riri...
  13. Adegan pada saat Arai memberi semangat pada Ikal di atas batu besar Belitong, cukup mengetarkan! "...tanpa mimpi-mimpi, orang-orang macam kite ni akan mati, Kal..." lalu kalimat pusaka Arai, "Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu", oh... it's so nice. Peran Arai yang dimainkan oleh Rendi Ahmad ini, cukup bagus! Kesan tokoh Arai yang memiliki mata istimewa, jiwa yang luasnya tak dapat diterka, benar-benar terwakili oleh acting anak remaja Belitong ini. Terima kasih Bung Riri...
  14. Lanskap ataupun scene yang ditayangkan dalam film... menyajikan keindahan visual tersendiri. Terutama pantai Belitong yang masih indah, subhanallah... Terima kasih Bung Riri...
  15. Adegan-adegan kocak, semacam kejadian "Aamiin" di waktu sholat berjama'ah yang diimami Taikong Hamim itu dan adegan-adegan lucu lainnya, cukup menggelitik perut, memuntahkan tawa... sungguh menghibur... Sampai-sampai seantero bioskop tertawa cukup lama :D Oh, it's so nice! Menghibur sekali! Terima kasih Bung Riri...
Berbeda dengan novel, yang menerima dan membaca surat kelulusan beasiswa S2 ke Eropa itu adalah kedua orang tua Ikal, tidak bersama Ikal atau pun Arai. Dan mereka membaca surat itu penuh haru sekaligus kocak. Haru... karena tentunya mereka tak menyangka kedua anaknya mendapatkan beasiswa bergengsi tersebut. Kocak, karena tiba-tiba ayah Ikal bertanya di tengah keharuan, "Coba kau lihat lagi! Barangkali surat ini salah alamat..." hahaha :D


In the end of act, Ikal dan Arai tiba di Eropa. Mengekspresikan rasa suka dan syukur mereka dengan tertawa di tengah hujan salju. Demikian endingnya.


Secara keseluruhan, terlepas dari penilaian-penilaian saya terhadap film ini, saya tetap menyukainya. Saya tetap pencinta Tetralogi Laskar Pelangi dan kedua filmnya. Dan tentu...saya akan tetap menonton Sang Pemimpi untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, keempat kalinya, kelima kalinya,..........ke sekian kalinya! :D Terutama, saya masih haus mendengarkan instrument itu temans...hehehe.


Buat Riri Riza, Mira Lesmana, Mizan Production and crews... bravo....!!! Selamat atas kerja keras kalian! Keep working and... prove your totality in the next challenge, "Edensor"! Maaf jika maaf saya lebih banyak daripada ucapan terima kasih saya ^_^


Untuk teman-teman nobar yang telah berbagi keceriaan, terima kasih...


Yang sempat tertangkap kamera saya :


(Dari kiri : Gege, Ramadoni, Iman, dan Dhodie)



Hasil jepretan kamera Dhodie yang 'nakal'

(The girls, dari kiri : Nopih Gosip, Ai, Achie, Kartini Samon, Saya)

Monday, December 14, 2009

Syukurku padaMu...

Tuhan,
Syukurku padaMu...
Untuk setiap nafas yang ku hirup dengan penuh kelegaan
Setiap detik... Setiap saat...

Syukurku padaMu...
Atas ruang dan waktu yang Engkau berikan
Hingga saat ini ku masih dapat bertahan
Meniti sepenggal masa depan


Syukurku padaMu...
Untuk nikmat sehat
Hingga ku masih dapat merasakan lezatnya sepiring nasi
Merasakan leganya aliran air di tenggorokan

Syukurku padaMu...
Atas nikmat usia, hingga ku masih Kau beri waktu
Untuk berbenah dan mengumpulkan bekal


Syukurku padaMu...
Untuk setiap kasih sayang, rahmat, dan karunia
Yang Engkau berikan setiap saat..
Walau terkadang aku lupa padaMu

Syukurku padaMu...
Yang tak lelah memberiku petunjuk dan hidayah
Walau terkadang ku acuh
Walau terkadang hatiku tak peka menangkapnya

Syukurku padaMu...
Untuk setiap ujian yang mendewasakanku
Yang membuat ku semakin merasakan ke-Maha Kuasa-anMu...

Syukurku padaMu...
Untuk hadiah, yang Kau selipkan dalam setiap musibah
Untuk tawa, yang Kau selipkan di antara derai air mata...

Syukurku padaMu...
Atas rahmat dan kasih sayangMu yang terselip di sela-sela aktivitas padatku
Yang terkadang lupa untuk ku syukuri...

Syukurku padaMu...
Atas pintu maaf dan ampunan yang begitu luas
Walau salah dan khilafku tak termaafkan

Syukurku padaMu...
Atas do'a-do'a yang Kau kabulkan dengan cara yang begitu indah
Atas do'a-do'a yang belum Kau jawab
Atas do'a-do'a yang tak Kau kabulkan untuk kebaikanku

Syukurku padaMu...
Untuk semua hal yang membuatku patut untuk bersyukur

Syukurku padaMu...
Untuk semua hal yang terlupa untuk ku syukuri...

Syukurku padaMu Tuhan,
Rabb semesta alam...

*sebuah catatan di tengah 'kemiskinan'*

Saturday, December 12, 2009

First Kopdar in Jakarta

Hampir dua bulan di Jakarta, setelah mati-matian mengumbar CV dan akhirnya memutuskan untuk concern bekerja di sini, saya begitu bosan... dengan rutinitas yang hanya berkutat di dua tempat (kantor dan kos), mengingat aktivitas berorganisasi saya sebelum merantau terhitung lumayan padat.

Di satu sisi, saya senang sekali karena posisi saya di Jakarta menjadikan saya lebih dekat dengan para petinggi-petinggi blogger dan lebih mudah untuk bertemu di dunia nyata alias "kopdar". Secara di Pagar Alam jumlah blogger hanya bisa dihitung dengan jari :D Duh, mengenaskan. Tapi di sisi lain, saya belum banyak tahu daerah Jakarta dan belum memiliki teman dan jaringan, yang ada hanya teman kerja dan teman kos. (haha)

Sampai akhirnya tibalah kesempatan itu. Dari plurk saya mengetahui bahwa Illa (salah satu blogger asal Makassar yang sedang berjuang di Surabaya) akan sowan ke Jakarta selama libur Idul Adha. Langsung saja muncul ide di benak saya untuk kopdar dengan sohib yang satu ini. ;)

Setelah kontak-kontak, akhirnya diputuskanlah untuk ketemuan di Ratu Plaza hari Sabtu (28 Nov 2009). Walaupun baru sekali ke tempat ini, saya tidak khawatir tersesat, yah at least... saya sudah tahu di mana saya harus turun dari angkutan umum. ^_^

So, berangkatlah saya di hari Sabtu itu, naik bis Patas Bianglala 44 jurusan Ciledug - Senen. Saya selalu menikmati perjalanan seperti ini, mengamati banyak hal... Orang-orang beserta aktivitasnya, bangunan-bangunan dan tempat-tempat yang saya lewati, dan sebagainya. Tapi, yang paling istimewa dan yang paling menyedot perhatian adalah "Pengamen" :D Secara diriku pencinta dan pengamat musik (haha) *lebay*

Belum lama perjalanan, telah naik dua orang pengamen. Satu anak remaja putri yang tidak membawa alat musik apapun, dan satu lagi laki-laki paruh baya yang menenteng sebuah gitar. Si remaja putri ini mulai beraksi. Dia memulai redaksi dengan menyapa penumpang ala kadarnya, tapi ada satu hal yang menyentak saya, ada kata-kata yang memiriskan hati yang terlontar oleh gadis kecil ini, "... ya, dari pada saya menjual diri, lebih baik saya menjual suara saya..." *uuupsss* Masya Allah dik... sebegitunya... (doh) Belum hilang rasa miris itu, mulailah ia bernyanyi dengan nyanyian yang juga menggelitik diri ini dan membuat saya jadi senyum-senyum sendiri, tak peduli dengan tatapan orang lain pada saya.

Yang membuat saya geli adalah, pertama, ia menyenandungkan lagu tanpa alat musik. Hmm... sebuah aksi mengamen yang cukup nekat. Kedua, ia bernyanyi sekehendak hati dengan PDnya! Bukan saja nada lagu yang berantakan, tapi juga intonasi dan ritme yang kacau! Hahaha... Ditambah lagi, lirik yang dilontarkan terbolak-balik tak karuan. Tapi, ia tetap PD! Ia tetap lantang menjerit-jerit di bis itu :D Mungkin, para penumpang di bis itu tak ada yang peduli, tapi diriku yang punya jiwa seni musik yang tinggi (haha) begitu tergelitik dengan hal-hal semacam itu :D

Sesi kedua, sang laki-laki paruh baya menyanyikan lagu daerah yang tak saya pahami. Tapi, paling tidak nadanya benar dan pas :D Cukup menghibur diriku yang baru saja dihantam seni musik yang kacau, hehehe.

Hampir satu jam perjalanan, akhirnya saya tiba juga di Ratu Plaza. Sesuai info dari smsnya, Illa sudah tiba di sana. Baru saja saya melaporkan posisi pada Illa, dia sudah menelepon, "Dimana posisi?" Saya menjawab alakadarnya sembari berjalan sambil deg-degan... 'Wah, saya bakal ketemuan sama Illa nih... seperti apa ya orangnya...?' Di tengah rasa penasaran itu, akhirnya kita bertemu! 'Oh, welcome Sist!' Illa langsung berlari-lari kecil ke arahku, kami bersalaman dan berpelukan.

Berbincang-bincang dengan Illa, serasa bertemu teman lama. Akrab dan hangat. Sesuai dengan usul Illa, kita akhirnya mencari salah satu cafe di sana, secara si Illa bilang dia lagi laper, hihihi. So, kita memesan Soto Ayam dan juice. Sembari menunggu pesanan, kita mulai ngobrol. Sebenarnya saya sudah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan buat Illa, tapi sekonyong-konyong dia sudah memberondongku dengan seabreg-abreg pertanyaan :D

Oh iya, ternyata si Illa... tipikal pembicara cepat :D Apakah karena pembawaan orang Makassar? Saya kurang tahu.. hehehe. But, it was very nice conversation. Hanya saja, ada satu hal yang dibicarakan Illa waktu itu, yang tak saya sangka akan ia lontarkan dengan santai. Sewaktu berbicara tentang petualangan saya dari Pagar Alam ke Jogja dan kemudian menggelandang di Jakarta, dia membicarakan solusi yang menggelikan, "Sebenarnya kalo Cici sudah menikah, aman..." (woot) *Glekkk* "Coba cari perantara yang bisa nyariin jodoh, siapa tahu.... bla bla bla..." *Wakkksss* Tapi saya jawab saja dengan santai, "Hehe, it's not that easy... lagian daku bukan tipikal peminta-minta seperti itu." Hahaha. Jodoh, biarkan ia datang pada waktunya, betul kan teman-teman? ;)

Then, saya bertanya tentang aktivitas Illa, bagaimana sampai ia merantau ke Surabaya. And... Illa juga bercerita tentang Surabaya yang hawanya begitu panas, sampe-sampe dijuluki "Neraka Bocor"!!! :D

And... in the end of session, kita foto-foto. Ditemani si kecil yang lucu, keponakannya Illa.


Abis makan Soto :D


Illa & Keponakannya yang lucu ^_^


Finally, akhirnya kita berpisah juga. Hmmm... kopdar pertama yang manis, menyisakan senyum berseri di hati. Semoga ukhuwah kita menembus Surga ya Illa... (cozy) Amiiin.

Dalam perjalanan pulang, kembali menumpangi bis patas 44 Ciledug - Senen, saya kembali menemukan ragam keunikan dari seorang pengamen. Namun sayang, walau lagunya lumayan asyik, sesi bernyanyi telah ia akhiri. Tapi, lamat-lamat terdengar, setelah itu ia berkata begitu banyak basa-basi yang menggelikan, dan... ditambah cengiran khas di akhir kalimat yang sukses mengocok perut saya. Kurang lebih redaksinya seperti ini, "Ya... terima kasih para penumpang sekalian, maaf cuma satu lagu, soalnya sebenernya tadi saya tidak berniat ngamen di bis ini... hehehe" *Lho???* (gubraks)

Dia melanjutkan basa-basinya, "... Di kesempatan ini saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha, semoga kita menjadi pribadi yang ikhlas dalam berkorban, hehehe. Ya... sebagai ummat Muslim, tentunya kita wajib melaksanakan sesuai dengan ajaran kita... hehehe". Ah, cengirannya itu lho...!!! "hehehe" sambil mengumbar gigi (lmao) Jadi teringat Bang Zaitun di Sang Pemimpi :D Eh, ternyata ia belum selesai... "Tapi, saya mohon maaf bila ada yang beragama lain, ya... kita harus saling menghormati... bla bla bla..., hehehe" Waduh! Panjang banget nih pengamen basa-basinya, kapan minta uangnya bang? Saya dilanda keheranan tapi tetap geli sambil senyam-senyum sendiri di bangku belakang.

Akhirnya, ia lontarkan juga kalimat pusaka itu, "Ya... silakan bapak-bapak, ibu-ibu... bla bla bla... semoga Allah membalas kebaikan bapak-bapak, ibu-ibu... bla bla bla... hehehe", dan ia akhiri dengan, "...maaf kalau mengganggu perjalanan Anda, hehehe, semoga Anda selamat sampai tujuan...hehehe". :D

Saya merogoh tas dan sudah berniat untuk berbagi alakadarnya dengan pengamen unik ini. Sekilas saya dilanda keinginan menggebu untuk 'taking photo', but... ah cukup rawan mengeluarkan kamera di bis ini, lagian nanti saya akan jadi pusat perhatian karena blitz kamera tentunya akan mengganggu ketenangan para penumpang.

Then, sampai juga sang pengamen ke deretan bangku belakang. Saya langsung memancarkan sinyal untuk memberi uang kepadanya, dan ia pun nyeletuk, "Mau ngasih ya Mbak? hehehe" Saya mengangguk saja sambil memasukkan uang ke dalam kresek yang ditentengnya, dan tentunya tetap senyam-senyum... masih terpesona dengan keunikan pengamen ini yang tak hanya menjual suaranya, tapi juga cengiran khasnya... hahaha :D

Well, kopdar pertama yang menyenangkan dan memiliki kesan petualangan yang unik bersama pengamen-pengamen yang saya temui di perjalanan. For Illa, hope meet you again next time ;) Anyway, makasih yaaa traktirannya... *mmmuah* (cozy)

*Wondering... next kopdar bakal ketemu siapa ya...? (evilsmirk)*