Sunday, November 07, 2010

Maukah Kau Tahu

Wahai bahasa, masih miskinkah rasa
Jatuh merapuh
Berdebam dalam lumpur asa

Duhai kata, masih dangkalkah makna
Hanyut terlerai, cerai
Berpencar ke segala arahnya


Aku tahu itu rasa
Aku tahu dalamnya makna
Tapi maukah kau tahu?

Gambar diambil dari sini

Wednesday, November 03, 2010

Tentang Sahabat

Teman, aku punya tiga kisah. Kisah tentang sahabatku yang semoga dapat kita ambil hikmahnya.




Cerita Pertama

Ia sahabatku, sahabat setiaku. Aku memahaminya, dan ia pun sangat memahamiku. Ia seorang yang sederhana, dari keluarga sederhana, dan memiliki impian sederhana. Pertemuanku dengannya sebetulnya bisa dibilang by accident. Namun atas izinNya, kami pun berteman, saling mengenal, bertukar cerita, berdiskusi, dan sebagainya. 

Waktu berlalu, dengan kesibukan masing-masing kami pun sudah jarang bertemu. Jika ada momen-momen yang memungkinkan kami berbincang, maka kami sempatkan waktu itu untuk memanfaatkannya menjadi sebuah pertemuan yang berkualitas. Namun jika tidak –dalam sebuah rapat organisasi misalnya- kami hanya bisa saling memandang, saling menerobos ruang hati lalu bergumam, “Apa kabarmu wahai sahabatku?” dan aku pun hanya mendapatkan jawaban dari senyuman dan tatapan matanya.

Terkadang jika aku sempat, kudatangi ia di rumahnya, kuberikan kejutan. Ia nampak begitu senang. Aku pun turut senang untuknya. Lalu kami memutar sebuah album nasyid, bernyanyi bersama, tertawa bersama. Ah, indah sekali mengenangnya.

Tiga tahun lalu, ia menikah. Aku begitu antusias membantunya menyiapkan pernikahan. Kulakukan apa yang mampu kulakukan untuknya. Aku sungguh ikut berbahagia dengan pernikahannya. Menemaninya di momen-momen penting dalam hidupnya. Walau aku sadar, ia akan memiliki kehidupan yang baru. Tanggung jawab dan kewajiban sebagai istri, juga sebagai seorang ibu kelak. Namun, aku yakin ada ikatan yang kokoh di antara kami. 

Satu tahun lebih setelah pernikahannya, ia dikaruniai seorang anak. Cantik namanya, secantik maknanya. Namun disinilah Allah menguji sahabatku. Anaknya menderita penyakit bawaan yang dapat membuatnya cacat mental (down syndrome). Bayi mungil nan cantik itu seringkali diserang kejang-kejang pada beberapa bagian tubuhnya dan mengakibatkan otaknya menciut. Sedih hatiku melihatnya, namun selalu kutampakkan wajah penuh optimisme pada ibunya, bahwa ia harus yakin… masih banyak yang bisa diusahakan, bahwa teknologi terkini akan mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Bahwa jika pun nanti anaknya menderita epilepsi, semua masih bisa dikendalikan. Bahkan seorang Galileo, Newton dan banyak orang hebat lainnya adalah penderita epilepsi.

Di tengah cobaan yang menggiriskan itu, cobaan lain pun datang menghampiri sahabatku. Suami dan keluarganya menentang pengobatan medis, dan menyuruhnya berobat ke orang pintar. Ia bercerita padaku sambil terisak. Geram aku mendengarnya. Bagaimana mungkin suaminya yang seorang sarjana bisa lebih percaya pada dukun?! Komunikasi sudah cacat fungsi. Suaminya hanya bisa menuruti kata-kata ibunya. Sahabatku bingung setengah mati, memilih antara logika yang sehat dan loyalitas pada suami. Beruntung, hari itu hujan deras. Sang dukun pun tak jadi datang.

Berbulan berikutnya, aku singgah ke rumahnya. Ia masih mengajar di sebuah sekolah swasta, sambil mengasuh seorang anak yang istimewa. Alhamdulillah, kini suaminya telah mengerti dan mengupayakan pengobatan terbaik bagi anak mereka. 

Kabar terakhir kudengar, sahabatku itu telah hamil lagi. Namun aku yakin padanya, pada semangatnya yang sederhana namun mempesona, pada senyuman yang penuh ketegaran, pada pengabdian yang penuh keikhlasan.


Cerita Kedua

Ia sahabatku. Teman satu sekolah saat SMP dulu. Ia pintar namun sungguh pemalu. Aku ingat ketika dulu waktu pelajaran seni suara, ia bernyanyi dengan merdu namun matanya tak berani menatap seisi kelas, ia malu. Prestasinya sungguh membanggakan. Bayangkan saja, di antara ribuan siswa ia nomor satu. Ya, kecerdasannya tak perlu diragukan lagi.

Di sekolah menengah, aku tak tahu lagi kabarnya karena kami memang melanjutkan sekolah di kota yang berbeda. Kudengar ia masih berprestasi, seperti dulu.

Beberapa tahun kemudian, saat aku kembali ke kota kecil itu, aku berjumpa kembali dengannya. Namun siapa sangka, dunia seolah tak berpihak padanya. Wajahnya sendu, lebih tepatnya muram. Ia tengah berperang dengan para petinggi civitas akademika. Berperang batin antara nurani, keculasan dan logika. Ia ingin idealismenya tegap tertegak. Namun, dunia pendidikan yang ia temui sungguh otoriter, dimana kecerdasan tak lagi dicari, kreativitas dan inovasi tak lagi laku. Semuanya uang dan keangkuhan. 

Sahabatku tetap berjalan di jalan yang ia pilih. Walau ia pada akhirnya lulus kuliah dengan nilai yang tidak memuaskan. Namun, ia tetap tegar dan melanjutkan hidup. Bagiamanapun, penilaian manusia pada dasarnya semua relatif. Apalah artinya nilai A jika pemahaman kita hanya sebatas kata-kata tanpa mampu menyelami maknanya? 

Beberapa saat setelah lulus kuliah, ia mengajar sebagai tenaga honor di salah satu sekolah negeri. Realita yang menggiriskan pun kembali ia temui. Ia menerima gaji namun angka yang tertera di kertas, jauh di atas nominal yang ia terima. Dan ia dipaksa nasib untuk membubuhkan paraf di kertas yang penuh rekayasa itu. 

Aku benci mendengarnya. Benci meilhat sahabatku yang dizholimi dan dikebiri haknya. Benci dengan sistem dan segala tipu daya pengagung dunia. Benci.

Aku hanya bisa menghibur sahabatku, bahwa rezeki Allah lah yang mengaturnya. Bahwa Allah Maha adil dan takkan meninggalkan hamba-hambaNya. Bahwa bersabar adalah obat segala-galanya.

Beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar mengejutkan sekaligus menyenangkan. Sahabatku itu kini telah lulus PNS di salah satu kota Propinsi Sumatera Selatan. Murni. Tanpa sogokan yang dilakukan kebanyakan orang. Subhanallah… walhamdulillah… Semoga engkau senantiasa dalam lindunganNya, sahabatku…


Cerita Ketiga

Ia sahabatku, salah satu penggemar karya-karya anak Belitong yang nyentrik tapi menarik itu –Andrea Hirata- sama sepertiku. Pemikirannya biasa saja, namun kedewasaan dan kemauannya untuk terus belajar dari saiapapun tak mengenal usia, itulah yang menajdi daya tarik pribadinya.

Suatu saat, ia diuji oleh Allah. Di siang yang tenang, ia tengah membuat bakso, membantu bisnis mertuanya yang memang tengah berkembang. Entah kenapa, kali itu ia tak memakai sandal. Tak seperti biasanya. Beberapa saat kemudian setelah menggiling daging, tiba-tiba ia terpeleset. Mencegah jatuh, tangan kirinya reflek menggapai-gapai sekitar. Disinilah tragedi itu berawal, tangan kirinya yang tak terkendali itu masuk ke dalam mesin giling daging yang ternyata belum dimatikan.

Jari-jarinya mulai tertarik dan dilumat oleh besi-besi penggiling itu. Namun ia hanya bisa menjerit tanpa mampu mematikan mesinnya. Detik terus berjalan, mesin itu pun meremukkan jemarinya tanpa ampun. Orang yang melihat kejadian itu panik, hanya bisa ternganga, terdiam, tak kuasa menolongnya. Akhirnya, dengan menahankan rasa sakit, ia berusaha mematikan sendiri mesin itu. Dan bersaranglah keempat jari-jari tangan kirinya, terjepit di antara besi-besi. 

Semua orang akhirnya berkumpul membantunya, namun tak ada yang bisa dilakukan karena saat jemari itu ditarik, maka akan terasa perih yang sangat dahsyat. Tak ada jalan lain, mesin itu harus dibongkar. Perlu waktu 1 jam untuk mengeluarkan jemari itu. Dan setelah ditangani oleh dokter di rumah sakit tempatku dulu bekerja, butuh waktu 2 jam untuk menanganinya. Seperti yang diduga oleh rekan-rekan perawat yang mengerti tentang ini, akan ada kemungkinan-kemungkinan terburuk. Mengingat banyak sekali otot-otot kecil di jemari itu yang sudah berpindah satu sama lain, tak bisa disatukan lagi. Rangkanya pun telah remuk, seremuk hati sahabatku saat itu.

Saat menemuinya, hatiku ngilu. Namun ia masih tersenyum seperti biasanya. “Mungkin saya ini banyak dosa, dan Allah menjadikan ini sebagai jalan untuk mendapat ampunan dan hidayahNya”, ujarnya.

Ah, aku salut akan ketabahannya.

Sahabatku itu menjalani beberapa operasi. Dan kini, jemari tangan kirinya tinggal tiga, namun semangat hidupnya bertambah. Ia kini berbahagia dalam hidayah. Dua jarinya telah tiada namun kehilangan itu membuatnya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga.

Sewaktu pulang kemarin, mendapat kabar dariku bahwa aku membawa karya Andrea Hirata terbaru, Padang Bulan, ia mampir. Aku senang melihatnya ceria, semangatnya masih seperti dulu. Ia seolah telah lupa tentang kehilangan. Subhanallah… hidupnya tercerahkan dengan ujian.

Gambar diambil dari sini