Monday, October 30, 2006

Solusi Itu Bernama : "Pembenahan Diri"

Friday, October 13th, 2006

Kita semua sangat merindukan perubahan, tentunya perubahan menjadi lebih baik. Tapi, seringkali kita mengalami perubahan yang sebaliknya, perubahan menjadi lebih buruk. Ironis memang. Tapi, begitulah kenyataannya. Ya, walaupun diri ini selalu berharap menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, tapi tetap saja masih jauh dari kualitas. Berbicara tentang keinginan, sepertinya mudah sekali. Berbicara tentang azam dan tekad, sepertinya semudah kita mengepalkan tangan, mengangkatnya ke atas dan berkata, "Allahuakbar !", tapi sesudahnya, lupa kembali, malas kembali. Keinginan, tekad, dan kesungguhan yang kuat adalah milik orang-orang hebat. Tapi, sungguh, amatlah tidak mudah untuk memilikinya.

Aku merasa diri ini seperti keledai. Ya, keledai. Terjatuh, bangun, tapi terjatuh dan terjatuh lagi di lubang yang sama. Terjaga, lupa, terjaga kembali. Tertawa, menangis, tertawa kembali. Sampai kapan ? Aku lelah menjalani hidup yang buram seperti ini. Tapi, jika kalimat melankolis ini diteruskan, mungkin paragraph ini akan berujung dengan kalimat pesimis. Tidak.

Berbicara tentang ide, di otak kita sebenarnya sudah banyak ide bersarang. Otak kita adalah komputer paling canggih di dunia ini. Ia bisa bebas menciptakan apa saja. Ia dengan mudah mengemukakan solusi-solusi yang jitu. Tapi, tidak semudah itu bagi diri ini mengaplikasikannya. Berbicara itu mudah, tapi melakukannya amatlah sulit. Beberapa waktu lalu tanpa sengaja pandanganku tertuju pada salah satu majalah Tarbawi yang bertajuk "Aneh, Ada Orang Konsisten Dengan Kebatilan". Subhanallah, aku merasa dikritik oleh tulisan itu. Malas, adalah kebatilan yang sering kulakukan pada diri ini, yang mungkin sepertinya kecil. Tapi, tidak ada yang kecil bila dilakukan terus-menerus.

Aku tersadar, diri ini sungguh banyak salah dan khilafnya. Sungguh, diri ini masih belum layak disebut sebagai seorang 'kader dakwah', belumlah layak. Menyesal, tentu. Tapi, apalah gunanya penyesalan jika tidak diiringi dengan pembenahan diri. Sepertinya pembenahan diri adalah kata yang cukup tepat untuk memulai perubahan itu. Yap, perbaikan, pembenahan, koreksi, reparasi, atau apapun namanya, tentunya harus ada yang dibuang, dikikis, dan ada pula yang mesti ditambah, ada yang harus diganti. Reparasi televisi misalnya, supaya TV itu bisa kembali normal, sang teknisi harus mengetahui terlebih dahulu, dimana kerusakan terjadi, kemudian memperbaikinya. Mungkin ada bagian tertentu yang harus diperbaiki, mungkin ada kabel putus yang harus disambung kembali, dan mungkin ada bagian khusus yang mesti diganti sehingga harus membelinya dengan harga yang cukup mahal. Setelah semuanya selesai, sang teknisi pun masih harus mengujicobanya apakah sudah bekerja dengan normal atau belum. Jika belum, mungkin ada kelalaian lain. Mungkin, di dalam proses reparasi, ada kabel yang salah tersambung, mungkin tegangan listriknya kurang, dan lain sebagainya.

Rumit memang. Dan pembenahan diri ini bahkan lebih rumit dari sekedar gambaran reparasi televisi. Tapi, kita tak punya pilihan selain berjuang dan berproses. Tentunya kita malu berkata, "Ah, aku tidak mampu. Aku hanya orang biasa. Aku tak bisa diandalkan", dan masih banyak kalimat pesimis lainnya jika mau dilanjutkan. Membenahi diri yang begitu rumit kerusakannya, pastilah sulit. Tapi, kita hanya punya dua pilihan, 'mundur dan kalah', atau 'maju dan memperoleh pencerahan'. Sekali lagi, semuanya tak semudah berkata-kata. Butuh keinginan, azam, dan tekad yang kuat nan membaja.

Saat ini, setidaknya aku sudah punya keinginan. Tak mau lagi diri ini menjadi manusia bermental keledai. Sungguh, dunia tak membutuhkan orang yang bermental seperti itu. Semoga hari-hari terakhir Ramadhan yang tinggal sedikit ini, menjadi saksi perubahan diri, walau hari-hari kemarin banyak waktu terbuang sia-sia. Semoga Ramadhan kali ini memang benar-benar merupakan momentum perbaikan diri, menyiapkan bekal mengarungi hari-hari di sebelas bulan berikutnya. Amin.

Wallahu'alam bishawab.

NB : Mari kita bersama-sama berjuang melawan diri sendiri. Karena terkadang diri ini bukanlah diri yang sebenarnya.



Saat Hatiku Begitu Pilu

Monday, September 25th, 2006, 09.35 am.

Bismillahirrohmaanirrohiim. Subhanallah, betapa Allah selalu menunjukkan fenomena-fenomena dunia kepada kita sehingga kita bisa mengambil hikmah yang mendalam dari setiap hal yang kita temui dalam hidup ini. Sungguh… hari ini aku merasakan sesuatu yang amat berbeda. Entah apa. Tapi yang kurasakan adalah sedih, menegangkan, simpati, kasihan, pilu, pilu… sekali. Rasanya betapa Allah ingin menunjukkan hal yang spesial padaku pagi ini.

Izinkan aku sedikit bercerita tentang seorang pasien yang subhanallah, ia sangat sabar dan senantiasa bersemangat dalam melawan penyakit yang dideritanya. Pertemuanku dengan pasien ini dimulai sejak ± 2 bulan yang lalu. Ia dirawat di salah satu ruang perawatan di Rumah Sakit Daerah Pagar Alam tempatku bekerja. Pasien itu bernama F (inisial), perempuan, umurnya 31 tahun, masih lajang, dan jika dibandingkan dengan orang sehat yang sebaya dengannya, mungkin ia sudah memiliki keluarga sendiri, suami dan anak-anak. Tapi, ia hanya seorang makhluk yang sedang dalam kondisi yang sangat lemah sehingga tak ada satu pun yang dapat ia lakukan kecuali terbaring di tempat tidurnya.

Ia menderita Tumor di bagian pipi kanannya, tepatnya dalam bahasa medis, Tumor R. Maxilaris Dextra. Ia sudah menanggung beban itu sejak ± 9 tahun yang lalu… Saat pertama kali melihatnya aku merasa sangat simpati, pilu, sedih. Betapa tidak, kondisinya sangat mengiris hati. Ia terbaring lemah di tempat tidurnya. Tubuhnya kurus… sekali, daging yang menempel di tubuhnya sangatlah tipis. Betapa jika kita mau membandingkan diri kita dengannya, sungguh, nikmat yang Allah berikan itu sangatlah besar dan tak terhitung jumlahnya.
"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim : 34.)

Subhanallah, banyak sekali pelajaran dan hikmah yang kudapatkan dari pasien itu. Walau ia menderita penyakit mematikan, ia tetap bisa selalu menampakkan wajah cerianya. Walau ia lemah, ia tetap menunjukkan ketegarannya. Walau ia tahu penyakitnya parah, ia tetap bersemangat untuk sembuh. Subhanallah. Ia tak sedih, walau orang-orang yang membesuknya menampakkan rasa sedikit terganggu dengan bau busuk yang menyebar di ruang kamarnya. Ya, tumor itu telah sangat membesar, dagingnya sudah keluar, berbau, dan sering mengeluarkan darah segar sehingga harus diperban dengan perban yang khusus. Betapa Allah menjadikannya sebagai orang yang benar-benar terpilih untuk diuji seberat itu. Betapa pasien itu sabar dan tegar menghadapinya. Betapa Allah sayang padanya. Subhanallah.

Sejenak aku tercenung, ya Rabb … mungkin kalau dia sehat, dia pasti akan bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat. Ya Allah, apa yang dirasakannya ketika dia sadar bahwa ia telah menyita perhatian, waktu, dan tenaga banyak orang untuk merawat dirinya. Ya Allah, jangan buat dia merasa bersalah, tegarkan ia ya Rabb … Aku kembali merenung, jika dibandingkan denganku yang masih sehat, yang masih diberi kemampuan dan kesempatan untuk berbuat, betapa aku tidak pandai bersyukur. Sungguh, pasien itu memberikan banyak inspirasi bagiku. Keluarganya yang ramah, sabar, dan penuh perhatian. Keluarganya tak pernah meneteskan air mata di depan pasien itu. Pernah suatu kali ketika kami sedang mengganti perbannya, dan darah yang keluar sangat banyak, ibunya terlihat sedih, dan pergi meninggalkan ruangan. Ternyata setelah kuselidiki ia menangis di luar, sungguh ia tak mau membuat anaknya ikut bersedih dengan kesedihannya. Keluarganya selalu memotivasi, memberi semangat, memberi harapan.

Sudah banyak pengobatan demi pengobatan yang sudah ditempuhnya. Operasi, kemotherapy, dan sebagainya. Sudah banyak pula uang, tenaga, dan waktu yang terkuras untuk semua itu. Tapi, ia tak menyerah. Ia tetap berusaha walau ada beberapa dokter yang sudah angkat tangan. Suatu kali, ketika aku mengganti cairan infusnya, terlihat air matanya mengalir. Tapi, tak sedikit pun ada isak. Sungguh pilu rasanya. Saat itu aku tak mampu berkata-kata. Jika aku bertanya tentang hal ikhwal penyakitnya, aku takut sisi psikologisnya akan goyah. Karena aku tahu, aku masih terlalu lemah untuk memberinya semangat dengan kata-kata yang tepat dan di saat yang tepat.

Pernah suatu kali aku membantu para tim medis untuk mengganti perbannya. Saat itulah pertama kali aku melihat secara langsung tumor yang melekat di pipinya. Karena selama ini aku hanya melihat segunduk perban di pipi kanannya. Prosesi mengganti perban ini sangatlah spesial, karena melibatkan tim dokter dan perawat senior. Biasanya, kalau ganti perban biasa, hanya kami para perawat yang melakukannya. Tapi, karena prosesi ganti perban ini sangat berisiko, maka dokterlah yang turun tangan.

Ketika perban dibuka satu persatu, darah segar langsung mengalir deras. Masya Allah. Semua membantu, ada yang menekan supaya darahnya tidak mengalir deras, ada yang menyiapkan suntikan, ada yang membantu mengambilkan alat-alat, dan sebagainya. Semua siap siaga. Darahnya terus mengalir, dari atas, samping, bawah. Masya Allah ! Sang dokter terus mengompreskan cairan yang telah disiapkan untuk mengurangi perdarahan, obat suntik pun telah dimasukkan. Setelah ± 20 menit, darahnya berhenti mengalir. Alhamdulillah. Dan perban yang baru pun dipasang. Setelah prosesi ganti perban, ia langsung ditransfusi darah untuk mengembalikan darah yang banyak keluar.

Begitulah, cukup menegangkan karena kita semua tahu kalau seseorang kekurangan darah terlalu banyak, maka dia akan mengalami syok dan kehilangan kesadaran. Tapi, alhamdulillah hanya Allahlah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Setelah beberapa minggu dirawat di Rumah Sakit Daerah Pagar Alam (kotaku), ia pulang dan berencana untuk mengontrol penyakitnya ke Rumah Sakit Palembang dalam beberapa hari ke depan, karena di sana ada dokter spesialis tumor. Alhamdulillah.

***

Seminggu yang lalu, ia dirawat lagi di rumah sakit tempatku bekerja. Saat aku mengetahui bahwa ia dirawat lagi, aku langsung ke kamarnya, melihat kondisinya. Dan, Masya Allah, tumornya membesar ! Mata kanannya juga ikut tertarik dan membengkak. Hidungnya yang sebelah kanan juga ikut tertarik sehingga antara lubang hidung yang satu dengan yang lainnya tidak lagi simetris. Aku bertanya tentang keadaannya. Dia bilang, Hemoglobin (Hb) darahnya hanya 5 mg/dl. Kurang lebih percakapan kami seperti ini, "Gimana kabarnya hari ini ?", aku bertanya. "Ya, beginilah. Hb-nya cuma 5, tapi kok gak lemes-lemes amat ya ? Padahal waktu dulu yang Hb-ku 7, aku udah lemes banget…" Reflek aku langsung menjawab, "Hmm, berarti sekarang psiko-nya yang kuat, hehehe", serta merta ia juga tertawa kecil.

Sejak saat itu, pihak-pihak perawatan terus melakukan transfusi darah terhadapnya, karena dia butuh 5 kantong darah atau lebih supaya Hemoglobin darahnya kembali normal (Hb darah normal untuk perempuan : 12 gr/dl). Subhanallah, bantuan donor darah dari teman-teman bagitu lancar sehingga di dalam proses transfusi darah ini tidak ada kendala. Tiga hari setelah ganti perban yang pertama, aku bertanya padanya, "Hari ini ganti perban, kan ?", tapi ibunya langsung menjawab, "Katanya besok atau lusa saja, dia belum siap, sus." Seharusnya memang ganti perban ini dilakukan 3 hari sekali, tapi karena kondisinya masih lemah, dan prosesi ganti perban itu sangat rentan akan perdarahan, maka hal itu ditunda sementara. Sebenarnya aku sedikit kecewa saat itu, karena kupikir kalo ganti perbannya hari ini, aku bisa ikut membantu dan melihat kondisinya saat ganti perban, karena besok aku tidak dinas, libur. Tapi, ya mungkin memang belum saatnya. Mudah-mudahan prosesi ganti perban selanjutnya berjalan dengan lancar. Amin.

***

Saat aku kembali masuk kerja, aku bertanya pada seorang rekan kerja yang ikut membantu prosesi ganti perban pasien itu. Dia bilang, "Syukurlah, gak ada masalah, perdarahannya tidak banyak." Alhamdulillah. Aku membatin.

***

Tetapi, pagi ini, tanpa diduga, dan tanpa persiapan, pasienku itu mengalami perdarahan yang cukup hebat. Aku sangat terkejut saat keluarganya melapor dengan wajah yang sangat panik, "Sus, pasien F banyak mengeluarkan darah… " Masya Allah ! Aku langsung mengambil peralatan dan menuju ke kamarnya. Kulihat ia sedang menutupi pipinya dengan kain, tapi tetap saja darah itu mengalir dari samping matanya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Darahnya terlalu deras hingga menembus perban, aku dan seorang rekan kerjaku langsung melapisinya dengan kain perban yang baru dan menekannya supaya darahnya dapat tertahan. Tapi, ternyata darah yang mengalir semakin lama semakin banyak dan tak terkontrol. Aku menyuruh rekanku untuk memanggil dokter. Masya Allah, betapa pun banyaknya kain perban yang kugunakan untuk menutupi darah yang mengalir, tetap saja darahnya selalu menembus. Aku sedikit panik, khawatir, tapi tetap berusaha tenang. Temanku yang lain datang, ia bilang dokternya belum datang karena baru pulang jaga malam, sedangkan dokter yang satunya sedang dicari, mungkin sedang memeriksa pasien yang lain. Dokter di rumah sakit tempat aku bekerja memang masih minim. Sebenarnya, rumah sakit kami dulu adalah puskesmas rawat inap, sehingga masih sulit untuk menyetarakan diri dengan rumah sakit umum di kota-kota lainnya karena masih minim dari segi SDM, sarana dan pra sarana, serta manajemen yang belum baik. Tapi, insya Allah tahun 2008 rumah sakit yang baru akan selesai (sekarang sedang dibangun), dan rumah sakit baru yang akan kami tempati dua tahun lagi itu adalah rumah sakit yang bertipe C.

Beberapa menit waktu berlalu, akhirnya sang dokter pun datang, dan perawat-perawat yang lain ikut membantu. Dokter memerintahkan untuk memasang infus jalur kedua di tangan yang sebelahnya (takut kalau ia kekurangan cairan karena terlalu banyaknya darah yang keluar). Sang pasien semakin lemas. Tetesan cairan infusnya dipercepat. Dokter yang satunya datang, ia pun langsung membantu sebisanya. Semua usaha dikerahkan untuk menghentikan perdarahan itu. Tapi, darahnya tetap mengalir, deras… sekali. Keluarga pasien itu hanya terdiam, terpaku, dan terlihat bingung. Sang pasien mulai gelisah dan mengeluh kedinginan. 'Ya Allah …, tolong dia'. Aku berdoa dalam hati. Sang dokter mulai terlihat lelah, berkeringat, sedang pasien itu, pucat … sekali, lemah, tak berdaya. Dan pada akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, perdarahannya berhenti. Alhamdulillah.
Kurang lebih satu jam perdarahan itu berlangsung, dan ± 1 liter darah yang telah keluar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh pasienku itu saat ini. Semua terlihat lega. Setidaknya, perdarahannya sudah berhenti. Tapi, kami masih khawatir dengan kondisi sang pasien. Transfusi darah pun segera dilakukan. Tapi, ia terus mengeluh kedinginan. Dan memang benar, saat kurasakan tangannya, dingin … sekali. Seperti tanda-tanda orang mau meninggal. 'Ya Allah, bantu dia, beri dia kekuatan ya Rabb…' Aku terus berdoa dan berharap. Kami pun melakukan cara manual untuk menghangatkan tubuhnya dengan menggunakan buli-buli panas. Tapi, lama-kelamaan kesadarannya mulai menurun, matanya terpejam, dan tak berkata lagi. Segera kuperiksa tekanan darahnya, dan aku langsung lemas, tekanan darahnya hanya 70/30 mmhg. Badannya dingin … sekali. Sesaat aku sadar, ia mengalami pre syok ! Ingin… sekali rasanya aku melakukan hal apa saja yang membuatnya tertolong, tapi aku hanya bisa berusaha sebisaku, sesuai dengan kapasitasku. Ya Rabb, berikan pertolonganMu…

Untuk Sementara pasienku itu tenang, tapi masih dalam kondisi labil. Aku pulang, karena memang sudah waktunya pulang, para rekan perawat lain yang jaga pagi sudah meng-handle laporan yang kami berikan. Pfuihh, ternyata lelah juga. Karena dari sore kemarin sampai pagi ini aku jaga. Aku memang dapat giliran jaga malam. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memilihku untuk mengalami kejadian yang penuh inspirasi ini. Semoga pasienku itu mendapat curahan kasih sayangNya. Amin.

***

AT HOME

Saat ini aku tak tahu bagaimana kondisi pasienku itu. Aku hanya bisa berdoa, ' Ya Rabb, berilah ia kekuatan untuk tetap hidup. Namun, jika memang Engkau menghendakinya untuk berjumpa denganMu, mudahkanlah jalannya. Ampuni dosanya, masukkanlah ia ke dalam surgaMu. Tabahkanlah keluarganya. Bukakan hati orang-orang di sekitarnya untuk dapat mengambil hikmah di bulan suci ini. '

Betapa aku banyak menemukan inspirasi dari hal itu. Saatnya mensyukuri nikmat Allah, dengan memanfaatkan waktu untuk beribadah, beramal, menuntut ilmu, mengembangkan potensi, membantu orang lain yang membutuhkan, menunaikan kewajiban dan amanah-amanah yang telah diberikan Allah kepada kita. Betapa sungguh berharga nikmat sehat dan waktu luang. Ramadhan ini adalah momen yang tepat bagi kita untuk senantiasa memanfaatkan waktu sebaik mungkin, mengisinya dengan amalan-amalan sholih sehingga pada akhirnya kita menjadi orang yang bermanfaat, menjadi muslim yang pandai bersyukur. Insya Allah.

***

Apa yang ada …Jarang disyukuri
Apa yang tiada … sering dirisaukan
Nikmat yang dikecap, baru kan terasa
Bila hilang …
(Bait-bait nasyid itu bersenandung di hatiku)

NB : Saya sedang merasa sangat pilu. Moga pasien saya diberi yang terbaik oleh Allah. Mohon do'a teman-teman. Jazakallah khairan katsir.








Sebuah Teguran Dari Allah

Sebuah kejadian hikmah ini bermula ketika aku mencabut gigiku di Rumah Sakit tempatku bekerja. Aku memang mengalami gangguan kesehatan pada gigiku waktu itu. Gigiku berlubang, dan tidak bisa dipertahankan lagi sehingga harus dicabut. Dengan bermodal sedikit keberanian dan kepasrahan pada Allah, akhirnya aku memberanikan diri untuk mencabut gigi. Ya, karena memang aku tahu bahwa rasanya akan sakit sekali. Ya, mungkin para pembaca pada heran, kok perawat takut sama jarum suntik ? Yah, memang begitulah adanya, aku memang jarang berobat, jarang minum obat, apalagi disuntik ! Karena setahuku, kebanyakan efek obat itu hanya menghilangkan gejala, bukan rekonstruksi (membangun kembali anggota tubuh yang sakit), so, aku hanya mengandalkan kekuatan sugesti alias mental untuk melawan penyakit. ; )

Singkat cerita, aku memberitahukan kepada teman kerjaku di Poli Gigi tentang sakit gigiku itu, dan dia memang menyarankan untuk mencabut gigiku yang sudah berlubang. And then prosesi mencabut gigi pun dimulai. Semua persiapan telah selesai, jarum suntik, obat bius, kapas, berbagai instrument untuk mencabut gigi, lampu penerangan, dan air untuk berkumur.

Aku terus menguatkan mental dan berdo'a, semoga Allah memberiku kekuatan. Cukup menegangkan juga, karena dulunya, ketika aku masih kecil, aku memang pernah mencabut gigi, dan rasanya sakiiiit sekali. Ketika temanku mulai mempersiapkan jarum suntik untuk membiusku, aku bergidik. Namun, tekadku sudah bulat, aku harus tahan, aku harus kuat, aku harus keluar dari masalah 'sakit gigi' yang kerap kali menghambat aktifitas-aktifitas pentingku. Aku terus berdoa dan berzikir, serta meminta kemudahan pada Allah.

Bismillah … dan sang perawat pun menyuntikkan obat biusnya. Sesaat setelah jarum suntik dimasukkan ke gusiku, terasa agak sakit. Tapi, aku rada aneh, kok sakitnya gak terlalu terasa ya, alhamdulillah. Setelah dibius, aku disuruh menunggu dulu sampai obat biusnya bekerja. Setelah bibir, lidah, dan pipiku terasa menebal, gigiku pun dicabut. Rasanya tidak sakit karena memang sudah dibius. Finally, alhamdulillah prosesi 'mencabut gigi' pun berjalan dengan lancar. Aku diberi obat supaya mempercepat proses penyembuhan gusiku. Alhamdulillah Allah memberiku kemudahan, pun masalah keuangannya, karena aku bekerja di rumah sakit itu, maka semua pelayanan pada pegawai digratiskan. Alhamdulillah.

Pasca 'mencabut gigi', aku 'puasa' makan atau pun berbicara. Seharian aku merasa tidak enak karena tidak bisa makan, tidak bisa berbicara, gusiku pun masih terus mengeluarkan darah sehingga aku harus sering bolak-balik ke kamar mandi untuk berkumur. Ditambah lagi rasa sakit yang mulai terasa karena efek obat biusnya makin lama makin berkurang. Sorenya, darah yang mengalir mulai berkurang, aku pun mencoba melepaskan kapas yang menutupi dan mengganjal gusiku. Dan alhamdulillah darahnya sudah agak mengental sehingga tidak mengalir begitu banyak. Aku berwudhu dan menunaikan sholat ashar. Ya, walau dengan pelafalan yang kurang sempurna karena gusiku masih mengeluarkan darah, aku masih bisa sholat dengan khusyu'.

Aku mulai mencoba berbicara, walau terasa agak sakit. Karena memang pembiusannya tadi di dua area, yaitu area sekitar gusi gigi yang dicabut dan area gusi belakang dekat tenggorokan (karena gigi yang dicabut memang gigi geraham nomor dua dari pangkal tenggorokan). Namun, aku menangkap sesuatu yang aneh pada suaraku. Suaraku menjadi tidak normal ! Aku terkejut, tapi aku terus berprasangka baik, 'ah, mungkin ini disebabkan karena masih ada efek obat bius'. Namun, lama-kelamaan, aku mulai merasa sangat aneh pada suaraku, aku tidak bisa berbicara dengan jelas, aku tidak mampu berkata dengan normal ! Setiap kali aku mencoba berkata sesuatu, kata-kata yang keluar adalah suara yang sumbang. Aku tiba-tiba tidak bisa menyebutkan vokal yang mengandung huruf-huruf ng, k, g, dll. Masya Allah !!! Aku terkulai.

Ya Allah benarkah ini terjadi ? Mungkinkah ini takdirMu Ya Rabb ? Mungkinkah ini teguran Allah ? Aku berpikir keras bagaimana jadinya jika aku tidak bisa berbicara seperti layaknya orang normal. Bagaimana jadinya jika memang benar-benar seperti itu adanya kelak ? Bagaimana aku bisa melatih tim nasyidku ? Padahal aku terkenal sebagai akhwat yang pandai bernasyid. Aku terus saja memikirkan kejadian-kejadian terburuk yang akan kuhadapi jika aku tak bisa berbicara secara normal. Tapi, kulawan diriku. Kuusahakan untuk tetap berprasangka baik pada Allah sambil berpikir kenapa Allah menjadikan hal ini padaku. Aku mulai merenung, Ya Allah, apakah karena selama ini aku jarang menyebut namaMu dengan lisan ini ? Ataukah karena aku tidak memaksimalkan nikmat lisan yang kau berikan untuk mengajak orang lain untuk menapak di jalanMu ? Atau mungkin karena selama ini aku tidak berani dalam menyuarakan kebenaran sehingga Engkau ambil nikmat lisan itu dariku ? Ataukah karena aku terlalu banyak berbicara yang sia-sia, berlebih-lebihan dalam bernasyid sehingga melupakan dzikir yang merupakan benteng keimanan … ? Astaghfirulllah … astaghfirullah … astaghfirullah … Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, betapa selama ini aku tidak pandai menyukuri nikmatMu.

Ya Rabb, tolong jangan ambil nikmat lisan itu dariku Ya Rabb … Aku terus saja menyesali diri, beristighfar, berdo'a. Lalu, kupaksakan untuk berbicara dengan jelas. Tapi, terasa sangat sakit, dan suaraku masih sumbang. Ya Allah, aku benar-benar merasa tidak berdaya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Diriku memang tidak berdaya tanpa kekuatan dan pertolongan dariMu Ya Allah … Aku terus berusaha mengeluarkan suara secara normal. Kutahan tenggorokanku, kutahan bibirku yang masih terasa agak tebal, dan kukeluarkan suara. Alhamdulillah, suaraku yang asli terdengar, walaupun aku harus dengan susah payah dan merasa sakit di tenggorokan saat melafalkannya. Aku terus berkata, terus berucap kata-kata apa saja untuk memperlancar pelafalanku. Kucoba dan kucoba lagi, walaupun rasa sakit di tenggorokan amat mengganggu, aku tetap berusaha berkata dengan jelas.

Lama-kelamaan, alhamdulillah aku mulai bisa berkata dengan jelas, ya walaupun dengan rasa sakit yang masih mencekik di tenggorokan. Ya Rabb, segala puji bagiMu. Sungguh, nikmat itu memang akan sangat terasa ketika nikmat itu dicabut oleh Allah. Sebuah bait nasyid terngiang di telingaku, "Apa yang ada jarang disyukuri, apa yang tiada sering dirisaukan. Nikmat yang dikecap baru kan terasa, bila hilang…" Ya Rabb, terima kasih atas teguranMu.

Sungguh banyak sekali hikmah yang kudapat dari pengalamanku di atas. Bahwa setiap nikmat yang diberikan oleh Allah, ada hak-haknya yang harus ditunaikan. Ketika kita diberi nikmat lisan, maka kita harus memaksimalkan nikmat itu untuk menjadi manfaat, menjadi ladang amal kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Terkadang kita mengabaikan dan menyepelekan nikmat yang telah Allah anugerahkan pada kita. Kita menjadi sadar, hanya ketika kita sudah mendapat 'teguran' dari Allah. Alangkah nikmatnya jika kita sadar sebelum segala konsekuensi buruknya terjadi. Tetapi, untuk menyadari itu tidaklah mudah, tidak semudah mengatakannya ataupun menuliskannya, perlu menyelami lautan yang ada di dalam diri kita sendiri. Semoga kita mampu memaksimalkan potensi nikmat apapun yang Allah berikan pada kita. Wallahu'allam bishawab.

TERJAGA

Aku terjaga
Benar-benar terjaga
Kukalahkan semua godaan
Godaan yang melenakan

Allah …
Segala puji bagiMu
Kini aku telah berkuasa penuh akan diriku
Akan jiwaku, pikiranku

Allah …
Bantu aku
Tuk selalu membentengi diriku
Dari bisikan sang setan perayu

Allah …
Ku tak pernah tahu
Kapankah akhir kehidupanku
Engkaulah Yang Maha Tahu Ya Allah

Ya Allah, Ya Rabb …
Jika masa itu datang
Bantu aku, agar jiwaku sedang bermunajat padaMu
Hati sedang berdzikir, khusyu' mengingat keagunganMu

Ya Allah
Betapa indah saat itu
Jika memang begitu adanya
Berilah aku kekuatan
Tuk merubah diri
Menjadi hamba yang layak ditolong olehMu Ya Rabb …

Ya Rabb
Lindungi diriku selalu
Dampingi diriku selalu Ya Allah …
Diri ini tiada berdaya tanpaMu
Tanpa cahayaMu, tanpa perlindunganMu
Tanpa kekuatan dariMu

Kini aku bebas
Bebas, bebas dari penjajahan setan terlaknat
Kini jiwaku menang, merdeka
Terima kasih Ya Allah
Engkau telah mengembalikan diriku yang sebenarnya
Jiwaku yang sesungguhnya
Bantu aku mempertahankannya Ya Allah
Bantu aku Ya Rabb
Bantu aku Ya Rabb
Amin Ya Robbal 'alamin.

Thursday, October 19, 2006

My New Address

Alhamdulillah, ini alamat blog saya yang baru. Semoga bisa menjadi lahan saya untuk belajar menulis dan membaginya pada teman-teman.