Saturday, December 19, 2009

Review Sang Pemimpi The Movie ; Maaf dan Terima Kasih buat Bung Riri!

Sang Pemimpi, buku kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi yang cukup mempengaruhi hidup saya. Begitu menginspirasi, menggugah, dan penuh semangat hidup. Walau tak terhitung telah berapa kali saya mengkhatamkannya, namun tetap saja menyisakan kesan yang sama; 'kaya', menyentuh, manis tak terperi. Semua kesan itu, tentu karena Sang Pemimpi bukan hanya sekadar karya fiksi, tapi sebuah cerita yang dilatarbelakangi oleh kisah hidup penulisnya sendiri, Andrea Hirata. Dan... karya-karya 'based on true story' adalah semacam katalisator perjalanan hidup saya, I love it!

Menyusul Laskar Pelangi yang telah sukses menyedot jutaan penonton, Sang Pemimpi ikut diadaptasi ke dalam sebuah film. Hmm... ini tentunya membuat penasaran para penggemar Tetralogi Laskar Pelangi, termasuk saya.

Mengikuti perkembangan proses pembuatan film ini (dari proses casting para pemain, proses syuting itu sendiri, dan pada akhirnya menyaksikan trailernya) membuat saya semakin penasaran. Seperti apakah film Sang Pemimpi? Sebuah tanda tanya besar itu menelorkan banyak tanda tanya lain di benak saya, seperti "Bagaimanakah wujud karakter unik si Arai? Bagaimanakah kegeraman Pak Mustar yang diwujudkan dalam film ini? Bagaimana pula kelakuan Jimbron yang tambun - invalid tapi kocak itu? Bagaimanakah acting Ariel Peterpan sebagai Arai dewasa? Sanggupkah ia memerankan tokoh yang cukup berpengaruh itu dengan baik? Lalu, bagaimanakah pula acting Nugie sebagai Pak Balia? Kemudian, kenapa saat wisuda (di Trailer), Ikal dan Arai satu kampus? Berubahkah jalan ceritanya? Bagaimanakah endingnya?



Dan semua pertanyaan itu kini terjawab sudah. Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk menonton Premier Sang Pemimpi yang telah ditunggu-tunggu ini.Berawal dari ajakan seorang teman, akhirnya saya bersama ke-8 teman sesama plurker ini (Dhodie, Achie, Ai, Gege, Nopih Gosip, Kartini Samon, Iman, dan Ramadoni) nonton bareng di Pejaten Village.


Walau saya belum tahu di mana rimbanya Pejaten Village itu, *maklum saya baru di Jakarta temans*, tak menyurutkan tekad saya untuk menonton Premier Sang Pemimpi! Saya jadi ingat, dulu sewaktu saya masih di Pagar Alam, karena tak ada bioskop, saya nekat pergi ke Palembang yang jaraknya 6 jam perjalanan naik bis, hanya untuk menonton Premier Laskar Pelangi :D


Alhamdulillah, perjalanan saya dari kos menuju Pejaten Village, aman dan lancar. Belajar dari pengalaman 'nyasar' saya tempo hari, selain saya bilang ke kondektur kemana tujuan saya, saya jadi merasa 'bebal' karena saya berkali-kali bertanya pada mas-mas yang duduk di dekat saya, "Pejaten Village dah lewat belum, Mas?" Tak lama kemudian, "Pejaten Village masih lama ya, Mas?" Lalu, "Masih jauh ya, Mas Pejaten Village?" Hihihi, sampe kesel kali tuh mas-mas saya tanyain mulu :D


Lalu, ada Mbak-mbak yang mau turun bilang ke saya, "Mbak mau ke Pejaten ya? Ituh tuh Mbak, stop aja deket lampu merah", ia berujar sambil menunjuk ke arah depan. Saya mengangguk, tersenyum-senyum, dan berterima kasih. Haha... mungkin dari tadi Mbak itu memperhatikan saya yang was-was mengantisipasi dimana... letaknya Pejaten Village :D


Akhirnya, sampai juga saya di Pejaten Village. Bertemu Achie, Gege, Ai, dan Ramadoni di 21. Di detik-detik kritis saat film akan dimulai, barulah sang leader muncul, Dhodie, beserta teman-teman yang lain; Nopih Gosip, Kartini Samon, dan Iman.


Then, kami masuk dan mengambil seat sekenanya. Lalu menyamankan diri untuk menikmati Sang Pemimpi. Oke, saya rasa cerita basa-basinya cukup temans :D So let's start my review :


  1. Saya merasa agak terganggu dengan ketidaksesuaian waktu antara film dan novel, saat adegan kenakalan Ikal, Arai, dan Jimbron dikejar-kejar Pak Mustar. Di film tertulis, "Magai, 1985", padahal di novel tepatnya pada halaman 4 jelas tertulis, "...Aku mengintip ke luar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai..." Mungkin bagi kebanyakan orang, ini biasa saja. Tapi bagi saya hal kecil seperti itu cukup mengganggu. Maaf ya, Bung Riri... *apa saya yang salah ya?* (unsure)
  2. Saat dikejar-kejar Pak Mustar, tak seseru yang ada di novel. Ikal dengan bajunya tak berkancing, berkibar seperti jubah Zorro, lalu serasa mendapat perhatian dari siswi-siswi *gadis melayu*, sama sekali tak tergambarkan. Maaf...
  3. Saat belajar sastra bersama Pak Balia, kata-kata semangat yang dilontarkan olehnya cukup menggetarkan hati saya. "Tak penting seberapa besar mimpi kalian! Tapi yang paling penting adalah seberapa besar kalian, untuk mimpi itu!" It's wow... ! Lalu, kata-kata "...bebaskan diri kalian! Ambil risiko paling tinggi! Itu akan membuat kalian kaya!" Wah... acting yang cukup bagus dimainkan oleh Nugie. Pun penghayatannya saat memperhatikan perubahan semangat yang terjadi pada Ikal, dan tentunya saat berperan sebagai guru sastra itu sendiri, "Pekikkan kata-kata yang memberi kalian inspirasi!" Wuih... mantap! Terima kasih Bung Riri...
  4. Lagu dan musikalitas yang tidak se'kaya' Laskar Pelangi. Musikalitas dalam sebuah film cukup penting menurut saya, warna-warni musik di film Laskar Pelangi semacam lagu Laskar Pelangi - Nidji, Bunga Seroja - Veris Yamarno, Tak Perlu Keliling Dunia - Gita Gutawa, Sahabat Kecil - Ipank, tak saya temui di Sang Pemimpi. Hanya lagu Gigi yang menurut saya, *maaf*, kurang menyalurkan spirit sosok Sang Pemimpi itu sendiri. Entah kenapa, apakah karena kurang penjiwaan? Entahlah... Tapi yang pasti, lagu Laskar Pelangi, saya tahu Giring Nidji dkk menciptakan lagu itu karena panggilan jiwa setelah membaca Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi (Kick Andy edisi Laskar Pelangi The Movie), tentunya apa yang diungkapkan dari hati akan sampai pula ke hati. Kemudian, Lagu "Cinta Gila" ciptaan Andrea Hirata yang dibawakan Ungu, tak terasa oleh saya, "Eh, lagu Cinta Gila yang mana ya? Kok saya ga dapet feelnya?" Entahlah... Lalu, koreksi saya, ada salah satu backsound di film Laskar Pelangi, dipakai juga di Sang Pemimpi. Sebenarnya sah-sah saja, tapi... apakah tidak lebih baik menciptakan backsound yang baru? Yang tentunya akan menantang kreativitas! Untuk sebuah adaptasi novel ke film, sekaliber novel Sang Pemimpi, ah... sungguh sangat disayangkan jika memakai backsound lama dan terkesan setengah-setengah. Maaf...
  5. Suntikan semangat berapi-api yang ditunjukkan Arai saat Ikal terpuruk, nyaris tak ada! Apalagi di saat-saat Ikal mengejar ayahnya, tak ada pekikan kata-kata sentilan pendobrak kesadaran dari Arai seperti yang ada di novel, yang ada hanya tatapan Ikal pada ayahnya dari kejauhan. Ah... terasa hampa. Maaf...
  6. Bang Zaitun, entah kenapa, menurut saya kurang 'greget'!!! Bang Zaitun, sang flamboyan musik yang nyentrik itu kurang terwakili oleh Jay. Tak ada dua gigi emas putih itu! Dan cengiran khas 'hihihi' seperti dalam novel, tak tervisualisasi dengan baik menurut saya. Maaf...
  7. Adegan yang mewakili chapter "Bioskop", jujur... saya kurang suka. Menurut saya, sebenarnya Bung Riri Riza bisa mengemasnya dengan lebih apik lagi dan lebih meninggalkan kesan pelajaran moral pada penonton. Bukan benar-benar menjiplak adegan tak senonoh dalam cerita novel. Dan... tak ada hukuman acting di hadapan para siswa-siswi, yang ada hanya hukuman membersihkan WC yang super jorok itu. Dan yang membuat saya heran, setelah itu... saat Ikal marah pada 'kebebalan' Jimbron akan cerita kudanya, sekonyong-konyong Ikal langsung marah pula pada Arai dan langsung mengutarakan kepesimisannya akan mimpi-mimpi mereka sekolah ke Prancis. Benar-benar tidak nyambung menurut saya. Maaf...
  8. Ada satu lagi ketidaksesuaian yang saya temukan, yakni pada saat pembagian rapor, sewaktu Ikal terpelanting jauh ke peringkat 75. Saya terkejut! Saat Pak Mustar memanggil nama "Ahmad Haikal!", dan majulah Mathias Muchus (pemeran ayah Ikal) untuk mengambil rapor itu. Dalam hati saya protes, 'Ga salah nih Pak Sutradara? Ahmad Haikal? Bukannya Andrea Hirata? hehehe. Maaf...
  9. Tak ada adegan saat Ikal dan Arai pulang kampung, bertemu dengan Jimbron Dewasa yang telah menikah dengan Laksmi dan memiliki anak. Menurut saya, jika adegan ini ada sepertinya akan lebih manis... ^_^ Maaf...
  10. Saat memikat hati Zakiah Nurmala, entah kenapa kurang terasa gigihnya perjuangan Arai. Dan kesan 'indifferent' seorang Zakiah Nurmala kurang 'greget'! Maaf...
  11. Acting Ariel Peterpan (Nazril Irham) sebagai Arai Dewasa sungguh tidak memiliki 'jiwa' seorang Arai... Ah, ini bagian yang sungguh menyedihkan bagi saya. Entah kenapa Bung Riri memilih Ariel sebagai Arai dewasa. Padahal, di sekuel selanjutnya (Edensor) peran Arai ini akan lebih dieksplorasi... Saya ragu, apakah Ariel bisa? Tapi ini tantangan buat Bung Riri dkk! Maaf...
  12. Saya begitu terharu dengan adegan saat Ikal memeluk ayahnya, bersalaman, meminta maaf dan berkata dengan penuh penyesalan mendalam, "Maafkan..." diiringi dengan musik instrument yang... subhanallah...... I love it! I love it! Sukses menitikkan air mata saya. Sampai saat ini pun, saya masih ingin...sekali mendengarkan instrument itu, lagi, lagi, dan lagi! Harap maklum, saya penggila instrument temans ^_^ Terima kasih Bung Riri...
  13. Adegan pada saat Arai memberi semangat pada Ikal di atas batu besar Belitong, cukup mengetarkan! "...tanpa mimpi-mimpi, orang-orang macam kite ni akan mati, Kal..." lalu kalimat pusaka Arai, "Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu", oh... it's so nice. Peran Arai yang dimainkan oleh Rendi Ahmad ini, cukup bagus! Kesan tokoh Arai yang memiliki mata istimewa, jiwa yang luasnya tak dapat diterka, benar-benar terwakili oleh acting anak remaja Belitong ini. Terima kasih Bung Riri...
  14. Lanskap ataupun scene yang ditayangkan dalam film... menyajikan keindahan visual tersendiri. Terutama pantai Belitong yang masih indah, subhanallah... Terima kasih Bung Riri...
  15. Adegan-adegan kocak, semacam kejadian "Aamiin" di waktu sholat berjama'ah yang diimami Taikong Hamim itu dan adegan-adegan lucu lainnya, cukup menggelitik perut, memuntahkan tawa... sungguh menghibur... Sampai-sampai seantero bioskop tertawa cukup lama :D Oh, it's so nice! Menghibur sekali! Terima kasih Bung Riri...
Berbeda dengan novel, yang menerima dan membaca surat kelulusan beasiswa S2 ke Eropa itu adalah kedua orang tua Ikal, tidak bersama Ikal atau pun Arai. Dan mereka membaca surat itu penuh haru sekaligus kocak. Haru... karena tentunya mereka tak menyangka kedua anaknya mendapatkan beasiswa bergengsi tersebut. Kocak, karena tiba-tiba ayah Ikal bertanya di tengah keharuan, "Coba kau lihat lagi! Barangkali surat ini salah alamat..." hahaha :D


In the end of act, Ikal dan Arai tiba di Eropa. Mengekspresikan rasa suka dan syukur mereka dengan tertawa di tengah hujan salju. Demikian endingnya.


Secara keseluruhan, terlepas dari penilaian-penilaian saya terhadap film ini, saya tetap menyukainya. Saya tetap pencinta Tetralogi Laskar Pelangi dan kedua filmnya. Dan tentu...saya akan tetap menonton Sang Pemimpi untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, keempat kalinya, kelima kalinya,..........ke sekian kalinya! :D Terutama, saya masih haus mendengarkan instrument itu temans...hehehe.


Buat Riri Riza, Mira Lesmana, Mizan Production and crews... bravo....!!! Selamat atas kerja keras kalian! Keep working and... prove your totality in the next challenge, "Edensor"! Maaf jika maaf saya lebih banyak daripada ucapan terima kasih saya ^_^


Untuk teman-teman nobar yang telah berbagi keceriaan, terima kasih...


Yang sempat tertangkap kamera saya :


(Dari kiri : Gege, Ramadoni, Iman, dan Dhodie)



Hasil jepretan kamera Dhodie yang 'nakal'

(The girls, dari kiri : Nopih Gosip, Ai, Achie, Kartini Samon, Saya)

20 comments:

iLLa said...

nantikan repiew versi iLLa, *setelah si dia nonton tentunyah* huhuhu... (cry)

Iman said...

Senang bisa ikut nobar kemarin dan berkenalan dengan Cici, karena diantara semua yg ikut kemarin hanya Cici yang mahluk baru buat saya hehehe.

Malu nih saya belum membaca novel Sang Pemimpi, walau seisi rumah sudah berkali2 merayu saya untuk membaca. Ini karena illfeel ketika baca Laskar Pelangi kemarin sih yang kurang saya suka. Opps jadi curhat.

Buat seorang yg belum membaca novelnya, Sang pemimpi sangat mencerahkan dan pesan yg ingin disampaikan Insya Allah nyampe ke penonton tentang pentingnya memiliki mimpi dan memperjuangkannya.

Saya punya 2 adegan favorit, ketika Arai menyerahkan terigu dan peralatan kue dr tabungannya dan ketika Ikal meminta maaf kepada ayahnya.

Woooii kepanjangan. Ulasannya bagus banget Ci (worship)

Pradna said...

hmm...menilik dari ulasan 2 maestro pemerhati perfilm-an di tanah air :

tampaknya, walau masih masuk dalam jajaran top-class film Indonesia, Sang Pemimpi meninggalkan noktah-noktah yg menganggu kenyamanan.

Semoga Edensor bakal difilmkan dengan semangat seperti saat memfilmkan Laskar Pelangi.

tertanda,
pemerhati review perfilm-an di tanah air.

(rofl)

an4k`SinGKonG said...

hmmmm...belon baca novelnya.apalagi pilmnya....kuatrooook nian....

cici silent said...

@iLLa : first of all, izinkan daku ketawa dulu (lmao) ternyata dikau komeng juga, pertamax pula! hihihi Anyway, ditunggu review versi iLLa! ;)

cici silent said...

@Iman : Slm kenal juga ya... ^_^ Ah, sayang dikau blm baca novelnya, hayuuuk baca, ga tebel2 amat khan bukunya. Membaca bukunya, energi semangatnya lebih 'nendang' lho. Yup! daku juga suka adegan itu, cukup mengharukan *walau bs dibuat lebih mengharukan lagi* :p (worship) juga.

cici silent said...

@Pradna : ^_^ terima kasih Pak pengamat review film tanah air... Tapi, itu khan pendapat daku secara pribadi, siapa tau dikau beda. Ayo nonton... jgn nunggu berbulan berikutnya... hehehe :D

cici silent said...

@anak singkong : ayo ayo... jgn smpe ketinggalan kereta ;)

Andhika said...

widiiihh...
review yang amat detail...
tapi sayah ga bisa banyak komentar.

secara nonton ajah belum, baca bukunya juga belum. tapi setelah baca review ini jadi penasaran juga buat nonton plus baca (tidak secara bersamaan tentu sajah).

tapi emang sih, kalau film yang di angkat dari novel kebanyakan kaya gituh. banyak yang 'tidak sesuai'.

*komennya jadi panjang juga yah*

Ratusya said...

huaaa panjang pisan reviewnya. lengkap pula. sayah sama sekali blom baca bukunya, jadi ga akan bisa bikin review perbandingan pilm dengan bukunya.

indahonly said...

mateeee mbak, lengkap nian! pemerhati detail yang luar biasa ^_^

cici silent said...

@Andhika : Ayo ayo ayo... baca and nonton! ;)

@Quinie : huehehe... sbnrny bs lbh panjang lg, tp kesian... ntar kebanyakan 'maaf'nya hihihi. Wah, padahal buku itu bagi daku a must read! ayuk baca...! ^_^

@Indah : idak mateeee! :D msh idup ndah! :p

rudis said...

katanya bagus tapi sayang saya belum nonton, slm kenal

cici silent said...

@rudis : ayo baca novelnya trus nonton ;)Slm kenal juga ^_^

ramadoni said...

sebelumnya salam kenal ayuk Cici *bener kan ya sebutan kakak perempuan di palembang itu "ayuk", sering denger nyokap ngomong tapi gak yakin betul cara nulisnya*

saya sendiri belum pernah baca novelnya dari laskar pelangi sekalipun, nah jadi gak tau deh sesuai apa enggak sama novel, tapi setuju ama gege...kenapa mesti Ariel?? bener2 kurang dapat mewakili arai waktu di masa SMA, jadi gak keliatan nyambung... hehehe... IMHO

cici silent said...

@Ramadoni : Wuih... pacak pulo baso Palembang hihihi ^_^ Bener... sip! Emang nyokapny org Palembang juga yak? About the movie, iya, ga asik bgt pemeran Arainya Ariel (doh) Tp kita liat aj ntar actingnya dia di Edensor! (evilsmirk)

irmaniz said...

wahh waahhh salut banget sama mbak cici neh, sampe segitu detailnya bikin review...mantaaaapp niannn..

Mita said...

Assalamu'alaykum

ayuk cici salam kenal yo ..
saya mita, wong kito, tapi besar di Jakarta.
sang pemimpi bagus bangett, kocak dan juga terharu ;)

lin said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said...

baru nonton semalem nih, padahal udah enggak di pagar alam lagi hehe